Ekonom Ingatkan Ancaman Burden Sharing bagi Ekonomi

BRIEF.ID — Kebijakan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kembali menjadi sorotan. Praktik yang pada dasarnya merupakan bentuk monetisasi utang ini dinilai berisiko menekan independensi BI sekaligus membebani masyarakat berpendapatan rendah.

Burden sharing dilakukan dengan skema BI membeli obligasi pemerintah secara langsung di pasar perdana, sehingga negara memperoleh tambahan likuiditas untuk membiayai belanja. Langkah ini disebut sebagai bentuk seigniorage, yakni penciptaan uang baru untuk menutup kebutuhan fiskal.

“Burden sharing dasarnya adalah monetisasi utang, alias mencetak uang baru untuk belanja negara. Dalam literatur disebut seigniorage,” ujar Peneliti Nauli Aisyiyah Desdiani dikutip dari laman media sosial Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).

Meski memberi ruang fiskal lebih longgar dan menekan biaya bunga utang, kebijakan tersebut memiliki konsekuensi serius. “Risikonya antara lain inflasi, pelemahan nilai tukar, dan dominasi fiskal yang bisa menggerus kredibilitas bank sentral.”

Data terkini menunjukkan seperempat obligasi pemerintah telah dikuasai BI. Kondisi ini menggambarkan kian kaburnya batas antara kebijakan moneter dan fiskal, situasi yang oleh para ekonom disebut sebagai fiscal dominance. Padahal, mandat utama BI adalah menjaga stabilitas harga dan nilai rupiah, bukan menjadi penopang utama pembiayaan fiskal.

Dampak terberat diperkirakan justru menimpa rumah tangga berpendapatan rendah. Likuiditas berlebih berpotensi menekan rupiah, meningkatkan inflasi impor, serta mendorong kenaikan harga barang. Dengan ketergantungan Indonesia yang masih tinggi pada impor bahan baku industri dan barang modal, pelemahan rupiah akan langsung tercermin pada lonjakan harga di dalam negeri.

Selain itu, beban utang pemerintah yang semakin besar dinilai dapat mempersempit ruang fiskal dan membuat perekonomian rentan. Kredibilitas BI pun berisiko terkikis apabila pasar menilai keputusan moneter lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan fiskal ketimbang mandat hukum.

Sejumlah pengamat mengingatkan agar burden sharing diperlakukan sebagai langkah darurat, bukan kebijakan rutin. “Burden sharing semestinya hanya menjadi instrumen dalam situasi luar biasa, seperti pandemi. Jika digunakan berulang, risikonya adalah ketergantungan fiskal dan hilangnya independensi bank sentral,” tulis kajian tersebut. (ano)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

IHSG Bergerak Variatif Uji Level 8.000, Investor Lakukan Profit Taking

BRIEF.ID - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa...

Tren Pelemahan Berlanjut, Rupiah Sentuh Level Rp16.600 per Dolar AS Hari Ini

BRIEF.ID - Tren pelemahan rupiah berlanjut hingga menyentuh level...

Harga Emas Antam Awal Pekan Naik Seribu Jadi Rp2.123.000 per Gram

BRIEF.ID -Harga emas batangan PT Aneka Tambang Tbk (Antam)...

Review Isu Sepekan: Kontradiksi Kebijakan, Tekanan Ekonomi, dan Tata Kelola Warnai Dinamika

BRIEF.ID — Lanskap politik, ekonomi, dan hukum Indonesia sepanjang...