BRIEF.ID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, pada APBN Tahun 2025 terbebas dari pemotongan anggaran yang telah dilakukan Presiden Prabowo Subianto. KebijakanĀ ini dinilai pemerintah tidak konsisten mendorong efisiensi anggaran danĀ erat kaitannya dengan pertimbangan politik, mengingat peran DPR dan MPR yang sangat krusial dalam mendukung kebijakan pemerintahan.
Padahal Presiden Prabowo Ā telah menginstruksikan pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 306,69 triliun atauĀ setara Ā 8,4% dari total belanja negara tahun 2025. Pemangkasan terdiri atas efisiensi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesarĀ Rp 256,1 triliun dan pengurangan transfer ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun. Ā
Instruksi ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang ditandatangani pada 22 Januari 2025. Tujuan utama dari efisiensi anggaran ini adalah untuk mengalokasikan dana bagi program-program prioritas pemerintah, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga telah mengeluarkan dokumen yang berisi daftar belanja yang harus dipangkas Ā setiap Ā K/L agar tercipta efisiensi anggaran. Namun, Ā tidak semua K/LĀ terkena efisiensi. Di antaranya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Keduanya tidak kena sasaran efisiensi anggaran sehingga pagu anggarannya di tahun 2025 utuh, yakni DPR sebesar Rp 6,6 triliun dan MPR sebesar Rp 969 miliar.
Berbeda dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terkena efisiensi anggaran. Pagu anggaran DPD di tahun 2025 ini mencapai Rp 1,3 triliun dan diharapkan ada efisiensi anggaran sekitar Rp 511 miliar.
![](https://i0.wp.com/brief.id/wp-content/uploads/2025/02/Peneliti-Formappi-Lucius-Karius.webp?resize=696%2C522&ssl=1)
Dikutip dari Kompas.id, Senin (3/2/2025), peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius Ā mengatakan, pemerintah pasti punya alasan memotong dan mempertahankan anggaran sejumlah kementerian/lembaga pada tahun 2025. Kemungkinan, itu disesuaikan dengan program prioritas Presiden Prabowo Subianto Ā tahun ini.
Lucius mengungkapkan, mempertahankan jatah anggaran pada sejumlah lembaga dengan program yang cenderung inefisien, jelas memperlihatkan tidak konsistennya pemerintah mendorong efisiensi. Paling mudah untuk melihat alasan lain yang tak sekadar soal efisiensi anggaran itu adalah pada keputusan pemerintah yang membiarkan anggaran DPR dan MPR tak diutak-atik.
āPadahal kalau melihat alasan efisiensi, upaya pemotongan anggaran DPR/MPR penting sebagai contoh bagi lembaga-lembaga negara lain dan juga bisa menjadi rujukan publik untuk melihat padanya semangat antara eksekutif dan legislatif untuk memastikan penggunaan anggaran yang tepat sasaran dan bermanfaat untuk rakyat,ā ujar Lucius.
Menurut Lucius, efisiensi anggaran DPR dan MPR tak sekadar soal teknis anggaran, tetapi lebih penting dari itu soal memberikan teladan sikap berhemat demi tujuan negara yang lebih mendesak. Demikian pula kalau melihat detail peruntukan anggaran DPR atau MPR, ada beberapa program rutin yang seharusnya bisa diefisienkan pelaksanaannya.
Misalnya, kecenderungan DPR tidak mau memaksimalkan masa reses dan menggunakan reses justru untuk mengadakan rapat, sesungguhnya mengindikasikan kegiatan reses tidak dilakukan secara maksimal. Padahal, anggaran reses untuk setiap anggota sangat banyak.
Menyia-nyiakan waktu reses untuk kegiatan lain di luar daerah pemilihan, nyata menunjukkan sebuah pemborosan. Karena itu, seharusnya anggaran dan juga durasi reses bisa ditinjau ulang untuk memastikan efektivitasnya dan efisiensi bisa dilakukan.
Selain itu, kunjungan kerja luar negeri juga masih ada dalam program DPR maupun MPR, termasuk sosialisasi empat pilar yang dilakukan MPR, yang sejauh ini tidak terungkap hasilnya di publik.
āAnggaran-anggaran program itu seharusnya bisa dipangkas jika kemauan melakukan penghematan bukan hanya jadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga DPR dan MPR,ā tutur Lucius.
Ia berpandangan, jika anggaran dua lembaga di Senayan, Jakarta, itu tidak dipotong, sangat mungkin pertimbangan politik yang digunakan, bukan pertimbangan efisiensi. Pertimbangan politik lebih dipakai karena pemerintah sangat membutuhkan dukungan DPR untuk kelancaran misinya menghemat anggaran. (nov)