BRIEF.ID – Konsultan politik sekaligus pendiri PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah menyoroti dana bantuan sosial (bansos) yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang Pemilu 2024.
Dia memerinci bansos dalam berbagai program seperti bantuan beras, Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat sejak tahun 2023 hingga penyelenggaraan Pemilu 2024 menembus Rp 560,36 triliun.
Sebelumnya, pada masa Pemilu 2019 (Pilpres periode kedua Jokowi) jumlah bansos yang dikucurkan Rp194,76 triliun, sedangkan pada Pemilu 2014 jumlah bansos yang digulirkan Rp78,3 triliun.
“Ini tidak bisa dibiarkan terjadi. Ini akan menjadi modus operandi ketika setiap penguasa atau incumbent, orang yang berkuasa punya konflik kepentingan, membantu keluarganya memenangkan pemilu akan menggelontorkan dana negara untuk tujuan partisan,” kata Eep dilansir dari kanal Youtube Keep Talking, Minggu (18/2/2024).
Dia menyebut, penggelontoran dana bansos itu berhimpitan dengan kerja elektoral, seolah-olah tidak ada kaitan tetapi sesungguhnya dimanfaatkan untuk kegiatan pemenangan.
Modus operandi dugaan kecurangan Pemilu 2024 dengan bagi-bagi bansos, ujar Eep, dilengkapi putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang rasanya hingga saat ini tidak ada orang yang membantah bahwa ditilik dari sisi materi perundang-undangan dan perdebatan itu adalah nepotisme.
Seperti diketahui, putusan itu memberi karpet merah kepada putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk melaju menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pilpres 2024, karena sempat terganjal syarat batas usia untuk mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden adalah 40 tahun.
Sementara itu, usia Cawapres dari Prabowo Subianto ini baru 36 tahun.
“Sesuatu yang haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan presiden. Laporan demi laporan mobilisasi aparatur kita dengar dan tonton di mana-mana. Tidak usah mencari saya untuk mencari data itu, silakan buka data digital banyak tersebar di mana-mana dan kita saat ini terbantu dengan beredarnya film dokumenter “Dirty Vote” yang membantu menilai keadaan, mata kita terbuka tentang potensi kecurangan pemilu memang nyata ada di sekitar kita,” ujarnya.
Makzulkan Jokowi
Lebih lanjut, Eep menyebut bahwa pemakzulan Jokowi tidak ada kaitan dengan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam Pemilu 2024.
Memakzulkan Jokowi, katanya, terkait dengan seberapa jauh pelanggaran yang dilakukan presiden, jika pelanggaran dinilai sudah mencukupi untuk membuat proses pemakzulan, maka sebagai warga negara berhak mengatakan presiden layak dan selayaknya dimakzulkan.
“Bahwa, kekuatan politik tidak bisa memproses hal itu adalah bagian dari pertarungan demokratis yang harus kita sadari, jika ingin keadaan berubah maka komposisi kekuasaan harus berubah,” tukasnya.
Oleh kerena itu, dia menyerukan kepada siapapun yang akan menjadi presiden selepas Jokowi sebaiknya mengiklaskan oposisi kuat di luar pemerintahan.
Parpol-parpol yang pada Pemilu 2024 tidak ada dalam kubu Jokowi, tambah Eep, sebaiknya menahan diri untuk tidak tergiur kenikmatan berkuasa dan bersikap melanjutkan perubahan demi perbaikan.
No Comments