BRIEF.ID – CORE Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia Tahun 2025 melambat di level 4,6% hingga 4,8%. Sedangkan di triwulan II 2025, pertummbuhan ekonomi diprediksi melambat ke kisaran 4,7%– 4,8%, merosot dari 4,87% pada kuartal I 2025.
Hal itu, disampaikan Research Associate CORE Indonesia, Prof. Sahara, dalam laporan CORE Midyear Economic Review 2025, bertajuk “Terhimpit Hambatan Domestik Terguncang Risiko Global”, di Jakart, Kamis (24/7/2025).
Sahara memaparkan, salah satu penyebab melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu dampak tarif resiprokal sebesar 19% untuk impor barang Indonesia ke Amerika Serikat (AS), yang akan menimbulkan kontraksi jalur perdagangan dan terasa dampaknya mulai semester II 2025.
Hal itu, disebabkan ketidakpastin kebijakan tarif Trump, yang jatuh tempo pada 1 Agustus 2025, namun tidak tertutup kemungkinan akan berubah karena belum tuntasnya kesepakatan perdagangan dengan beberapa negara mitra.
Indonesia telah mencapai kesepakatan tarif 19% untuk impor barang ke AS, dan memberikan kompensasi free trade atau bebas bea masuk bagi produk-produk AS.
“Pengenaan tarif resiprokal sebesar 19% membuat Indonesia harus menanggung beban komitmen komersial senilai Rp368 triliun, termasuk pembelian 50 pesawat Boeing,” kata Sahara.
Selain itu, penerapan tarif resiprokal 19% akan memotong volume ekspor Indonesia ke pasar dunia kurang lebih 2,65%, dan membuat daya saing Indonesia tertinggal dari negara pesaing seperti Vietnam.
Hal tersebut, pada akhirnya akan membuat surplus neraca perdagangan Indonesia terancam menyempit, karena kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS, Donald Trump, mendorong pergeseran aliran barang ke negara alternatif seperti Indonesia, menimbulkan lonjakan impor dari negara yang menghindari tarif AS.
“Kita sudah melihat tren penurunan surplus neraca perdagangan di Januari-Mei 2025, dan dengan kebijakan tarif resiprokal 19% atas barang Indonesia ke AS, maka surplus neraca perdagangan terancam semakin menyempit di semester II 2025,” ujar Sahara.
Sementara Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan penyebab lain melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini, disebabkan daya beli masyarakat yang semakin rendah.
Menurut Faisal, ketidakpastian global dan efisiensi anggaran yang dilakukan membuat Indeks Penjualan Riil pada kuartal II 2025 hanya tumbuh 1,2%, atau hanya separuh dari kuartal sebelumnya.
Indeks Keyakinan Konsumen juga terkontraksi menjadi -5,1%. Kemudian, proporsi tabungan rumah tangga juga turun dari 16,6% menjadi 14,6%. Bahkan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melonjak 27,8%.
“Dasya beli masyarakat menurun tajam, bukan hanya pada penjualan barang tahan lama, seperti rumah dan kendaraan, tetapi juga pada jumlah penumpang berbagai moda transportasi selama libur sekolah, padahal pemerintah sudah memberikan insentif lewat diskon tiket pesawat, kapal, hingga kereta,” tutur Faisal.
Terkait dengan itu, Faisal menyampaikan pemerintah tidak harus bekerja ekstra, dan secara efektif mendorong pemulihan konsumsi rumah tangga, dan konsumsi pemerintah pada kuartal II dan IV tahun ini.
“Dengan sisa waktu kurang dari enam bulan, untuk mengejar target pertumbuhan minimal 5%, pemerintah tidak bisa hanya bekerja sebagaimana biasanya (business as usual), tetapi perlu efektif mendorong pemulihan konsumsi rumah tangga, investasi, dan konsumsi pemerintah,” ungkap Faisal. (jea)