Jakarta — Presiden Joko Widodo membuka Rapat Kerja (Raker) Kepala Perwakilan Republik Indonesia dengan Kementerian Luar Negeri di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 9 Januari 2020. Rapat kerja tersebut dihadiri oleh 131 Kepala Perwakilan dan Eselon I Kementerian Luar Negeri.
Pada awal sambutannya, Presiden kembali menggaungkan optimisme di tengah situasi ekonomi dan politik dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Ditambah lagi dengan meningkatnya konflik yang terjadi di beberapa negara maupun antarnegara.
“Tetapi kita harus yakin bahwa di tengah situasi yang penuh tantangan tersebut, negara kita Indonesia mampu berlayar tetap berdiri tegak dalam rangka terus memperjuangkan kepentingan nasional kita,” kata Presiden.
Konstitusi mengamanatkan para duta besar Indonesia sebagai duta perdamaian. Meski demikian, Kepala Negara menghendaki agar para perwakilan RI di luar negeri tersebut juga mengupayakan diplomasi ekonomi.
“Saya ingin 70-80 persen apa yang kita miliki itu fokusnya di situ, di diplomasi ekonomi karena itulah yang sekarang ini sedang diperlukan oleh negara kita. Oleh sebab itu, penting sekali para duta besar ini sebagai duta investasi,” jelasnya.
Sebagai duta investasi, Presiden menyebut, para duta besar harus mampu mengidentifikasi jenis investasi di bidang apa yang diperlukan dan diprioritaskan oleh Indonesia. Menurut Presiden, bidang yang menjadi prioritas tersebut antara lain, produk substitusi impor.
“Kita tahu yang namanya petrochemical itu masih impor, 85 persen masih impor. Sehingga kalau kita ingin mendatangkan investasi, cari produk-produk yang berkaitan dengan barang-barang substitusi impor kita. Petrokimia berkaitan dengan methanol misalnya,” ungkapnya.
Bidang kedua yang harus diprioritaskan adalah energi. Hal ini mengingat Indonesia masih mengimpor energi, baik minyak maupun gas, dalam jumlah yang cukup besar. Secara spesifik, Kepala Negara meminta para duta besar mencari investor yang memiliki kemampuan dalam mengelola material yang banyak dimiliki Indonesia, seperti batu bara.
“Jangan senang kita impor gas atau minyak terus. Investornya siapa? Ya investornya bisa saja misalnya yang berkaitan dengan batu bara, datangkan investor yang memiliki teknologi yang berkaitan dengan batu bara. Karena batu bara itu bisa diubah menjadi DME, LPG. Kita ini LPG kita ini impor semuanya. Sehingga investasi yang berkaitan dengan DME, LPG, ini penting sekali supaya kita tidak impor gas LPG lagi. Material kita ini batu bara banyak sekali. Negara-negara yang jago yang berkaitan dengan ini siapa? Ini yang kita cari,” paparnya.
Selain batu bara, Presiden juga meminta agar para duta besar aktif mencari investor yang mampu mengubah kelapa kopra menjadi avtur. Demikian juga dengan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai campuran diesel melalui B20, B30, B50, maupun B100 nantinya. Dengan demikian, Indonesia tidak akan lagi mengekspor komoditas-komoditas tersebut dalam bentuk bahan mentah atau raw material.
“Sudah enggak zamannya lagi kita ekspor yang namanya batu bara, bahan mentah kopra, CPO. Kita ingin ekspor kita dalam bentuk barang-barang minimal setengah jadi, atau kalau bisa barang jadi. Sehingga bapak ibu sekalian menjadi duta investasi itu yang diincar mana, yang ditembak mana itu mengerti,” imbuhnya.
Jika Indonesia bisa memproduksi B50, Kepala Negara meyakini, posisi tawar Indonesia terhadap semua negara akan meningkat, misalnya terhadap Uni Eropa yang acapkali melakukan boikot terhadap sawit Indonesia.
“Kita pakai sendiri saja (sawitnya), ngapain sih harus diekspor ke sana? Strategi ini yang sedang kita bangun. Strategi besar bisnis negara ini baru kita proses rancang implementasinya agar betul-betul kita tidak ada ketergantungan dengan negara lain,” tambahnya.
Dengan meningkatkan investasi di bidang-bidang tersebut, Presiden berharap neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan Indonesia akan semakin baik. Untuk itu, dukungan para duta besar terhadap investasi sangat diperlukan.
“Goal-nya ke sana. Kalau neraca transaksi berjalan kita sudah positif baik, saat itulah kita betul-betul baru merdeka. Dengan siapapun kita berani karena tidak ada ketergantungan apapun mengenai sisi keuangan, sisi ekonomi. Itulah target kita dalam 3-4 tahun ke depan. Arahnya ke sana, sehingga bantuan dari para duta besar mengenai investasi, sebagai duta investasi, sangat penting sekali,” tandasnya.
Duta Besar, Duta Ekspor
Persoalan defisit neraca perdagangan telah dialami oleh Indonesia selama bertahun-tahun. Salah satu cara untuk menyelesaikannya, selain dengan menggenjot investasi, adalah dengan meningkatkan ekspor.
Untuk itu, saat membuka Rapat Kerja Perwakilan Republik Indonesia dengan Kementerian Luar Negeri, Presiden Joko Widodo mendorong para duta besar agar turut berperan sebagai duta ekspor bagi negara.
Menurut Presiden, salah satu penyebab defisit neraca perdagangan yang tak kunjung selesai adalah karena selama bertahun-tahun Indonesia selalu fokus pada pasar-pasar tradisional dan negara-negara besar saja seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, atau Tiongkok. Padahal, potensi pasar-pasar lain di dunia masih sangat besar untuk digarap.
“Padahal sekarang justru negara-negara yang sedang berkembang, yang pertumbuhan ekonominya di atas 5 persen itu banyak sekali. Memang tidak besar, kecil-kecil, tapi kalau dikumpulkan juga akan menjadi sebuah jumlah yang sangat besar,” ujar Presiden.
Potensi pasar nontradisional tersebut misalnya di negara-negara Afrika, di mana banyak negara yang ekonominya tumbuh di atas 5 persen. Terkait hal tersebut, Presiden meminta para duta besar jeli melihat dan menginformasikan peluang yang ada di negara tersebut.
“Ini tolong betul-betul dilihat dan diinformasikan ada peluang apa di situ? Sehingga di sini mengerti dan bisa mengolah. Kementerian Luar Negeri mendapatkan informasi, diolah dalam rapat terbatas, kemudian kita putuskan siapa yang harus menyelesaikan itu, barangnya yang dibutuhkan apa. Intelligent marketing seperti ini yang diperlukan sekarang ini. Sehingga kita bisa masuk ke pasar-pasar Afrika, produk-produk apa yang diperlukan di sana, bisa masuk,” jelasnya.
Secara khusus, Presiden menyebut bahwa pasar-pasar di Afrika itu potensial untuk produk-produk usaha kecil dan menengah Indonesia. Hal tersebut mengingat negara-negara tersebut belum menerapkan standar kualitas yang terlalu ketat.
“Yang saya senang sebetulnya kalau kita bisa masuk ke pasar-pasar di Afrika itu, yang banyak itu produknya usaha kecil dan menengah itu bisa masuk ke sana. Karena apa? Untuk urusan kualitas masih belum memiliki standar yang sangat ketat,” imbuhnya.
Selain Afrika, Presiden melihat negara-negara di Asia Tengah, Asia Selatan, dan Eropa Timur juga memiliki potensi yang besar. Untuk itu, ia meminta para dubes yang bertugas di negara tersebut bisa mengidentifikasi peluang yang ada.
“Perintahkan staf-staf yang berkaitan dengan ini untuk melihat, untuk mencari tahu, mencari data, siapa yang memerlukan, jumlahnya berapa, namanya siapa. Semuanya harus teridentifikasi dan kita tahu betul,” sambungnya.
Menurut Presiden, saat ini, kualitas produk-produk Indonesia sudah lebih kompetitif dibandingkan dengan produk-produk dari Tiongkok. Sehingga, Presiden mengatakan, Indonesia tidak perlu takut jika harus berkompetisi dengan produk-produk mereka di pasar global.
Tujuan besar dari diplomasi ekonomi dengan menjadikan duta besar sebagai duta ekspor adalah untuk membangun kepercayaan dari negara-negara lain. Untuk itu, Presiden ingin agar para duta besar mencurahkan 70-80 persen dari aktivitasnya pada diplomasi ekonomi.
“Tadi saya sampaikan bahwa diplomasi ekonomi ini menempati 70-80 persen apa yang harus kita pikirkan dan kita curahkan. Sisanya, silakan isi dengan kegiatan-kegiatan yang lainnya, yang berkaitan mungkin dengan pariwisata, diplomasi perdamaian, diplomasi kedaulatan. Karena ke depan, yang ingin kita bangun itu kepercayaan, itu yang ingin kita bangun,” jelasnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mampu stabil berada di atas 5 persen dalam lima tahun terakhir bisa menjadi modal bagi para duta besar untuk mempromosikan Indonesia. Tak hanya itu, inflasi yang terkontrol dan bahkan bisa turun dari 9 persen hingga sekarang di posisi 3 persen, juga menjadi modal yang besar.
“Dua ini menjadi modal besar kita. Kenapa investasi negara lain menengok kita? Karena dua hal ini. Dan mungkin angka-angka yang lainnya, angka kemiskinan, gini ratio. Tapi dua hal itu jangan kita enggak bisa bercerita mengenai turunnya inflasi, stabilitas growth yang kita miliki. Sering kita tidak tahu modal besar yang kita pakai dalam membangun trust negara kita,” ungkapnya.
Terakhir, Kepala Negara meminta agar para duta besar juga mampu melihat dan menginformasikan inovasi yang ada di negara tempatnya bertugas. Dengan demikian, Indonesia bisa mempelajari inovasi tersebut, tidak memulai dari nol, untuk kemudian dikembangkan dan diterapkan.
“Kalau kita memulai dari basic-nya ya enggak akan ketemu sampai kapan pun. Karena kita ingin amati, pelajari, kembangkan, dan langsung terapkan. Inilah yang kita perlukan. Jadi kalau ada inovasi di sebuah negara, misalnya di Amerika ada sesuatu yang baru mengenai AI (artificial intelligence). AI kita belajar belum rampung sudah keluar yang baru lagi. Barang baru ini apa? Informasikan,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Presiden mengatakan, para duta besar harus terus mencari peluang-peluang, membuka jejaring seluas mungkin, mengenali karakter-karakter pasar, memetakan peluang-peluang itu, dan menginformasikan ke kementerian. Di samping itu, Presiden juga meminta Menteri Luar Negeri untuk membuat key performance indicator (KPI) yang jelas dan terukur.
“Biar jelas yang berprestasi sama yang tidak, yang harus diganti sama yang tidak itu harus jelas. Nanti kalau enggak, kita business as usual saja, enggak akan negara ini maju kalau kita seperti itu. Ada evaluasinya, mana yang kita koreksi, mana yang harus kita perbaiki, baik di sisi dalam negeri, kementerian-kementerian, maupun duta besarnya. Saya kira kalau kita bekerja dengan cara-cara KPI yang jelas, semuanya akan termotivasi dan terdorong untuk bekerja secara sungguh-sungguh,” tandasnya. (***)
No Comments