Jakarta — Kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tidak lepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) pada tanggal 13 Agustus 2019 lalu. Kehadiran BRIN membawa harapan pada dunia riset dan penelitian di Indonesia yang selama ini dianggap hanya sekedar kebutuhan publikasi dan belum memiliki implikasi pada kemajuan industri.
Bila ditarik ke belakang, munculnya wacana membuat satu lembaga riset nasional pertama digaungkan oleh Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di HUT ke-46 partai berlambang banteng itu di JIEXpo Kemayoran pada tahun lalu. Megawati kembali mengulang pidatonya soal riset pada HUT ke-47 PDI-P di lokasi yang sama. Bahkan menurut mantan presiden ke-5 RI tersebut, munculnya lembaga riset nasional merupakan salah satu mimpi founding father, yang juga ayahandanya, Ir. Soekarno.
“Saya memohon, jelas dibutuhkan badan riset dan inovasi nasional yang hasil kerjanya harus jadi landasan keputusan program pembangunan. Saya tidak akan pernah bosan mengingatkan tidak ada satu negara pun dapat menjadi negara maju tanpa mengedepankan riset pengetahuan dan teknologi, ini yang sedang kami perjuangakan bersama Pak Jokowi. Saya tidak bosan untuk mengingatkan, tidak ada negara maju jika kita tidak mengembangkan riset, teknologi, serta inovasi,” tegas Megawati saat HUT ke-46 PDI-P tahun 2019.
“Riset yang berdaulat, merupakan hal fundamental dalam menjalankan roda pembangunan menuju negara industri maju, negara yang mampu berdiri di atas kaki sendiri,” kata putri Presiden Sukarno itu di HUT ke-47 PDI-P tahun 2020.
Keinginan Megawati tersebut akhirnya tercapai dalam UU Sisnas Iptek. Dalam undang-undang tersebut, pemerintah ingin adanya satu badan penelitian dan pengembangan (litbang) yang terintegrasi, menyusun strategi atau design besar soal riset dan anggaran agar tidak terbagi-bagi serta memfokuskan kembali distribusi anggaran untuk litbang.
Terbentuknya BRIN sendiri membuat adanya beberapa perubahan dalam hal riset dan penelitian antara lain rencana pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kelembagaan BRIN, mekanisme dana abadi penelitian, registrasi penelitian, pengembangan, pengkajian dan Penerapan (Litbang Jirap), wajib serah dan wajib simpan, komite etik dan kode etik, penerapa sanksi yang bertahap dan sistem informasi Iptek nasional. Irsan mengatakan bila ini menjadi penting guna memastikan penelitian yang dilakukan menjadi acuan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan.
Ide besar yang membentuk BRIN lewat UU Sisnas Iptek tentunya memiliki niat yang teramat sangat mulia, yaitu menjadikan iptek dan penelitian sebagai landasan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan. Namun begitu pembentukan BRIN bukan tak menimbulkan masalah lain bagi pemerintah. Sebab sebelum munculnya BRIN saja sudah banyak lembaga penelitian yang memiliki spesialisasinya masing-masing seperti BATAN, LAPAN, BPPT dan LIPI. Belum lagi bagian litbang yang sudah pasti dimiliki hampir semua kementerian, bahkan Kementerian PUPR sudah dengan tegas menyebut bila tidak setuju litbang miliknya digabung dengan BRIN.
Itu saja baru menyangkut soal bagaimana posisi BRIN dalam penelitian di Indonesia. Hal lain yang menjadi perhatian adalah isi dari UU Sisnas Iptek itu sendiri. Karena menurut salah satu LSM yang memiliki kepedulian pada penelitian dan riset, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), isi dari UU tersebut isinya 35 persen terfokus di hulu sementara hanya 19 persen yang fokus di hilir. Padahal dalam memajukan industri, hilir harus memiliki persentasi lebih tinggi karena di sini pemanfaatan dan implementasi dari seluruh penelitian. Apalagi saat ini publikasi dan penelitian di Indonesia masih sangat tertinggal, masih banyak penelitian yang berhubungan dengan industri ternyata dipublikasi di bawah tahun 2010 dan tidak memiliki update terbaru.
Dengan banyaknya kekurangan dan kebingungan yang dihadapi BRIN, setidaknya lembaga baru ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengembangkan dan memajukan riset serta penelitian di Indonesia. Sebab selama ini industri tidak pernah berjalan beriringan dengan riset dan penelitian, jadi jangan kaget bila industri Indonesia seperti diam di tempat karena tidak tahu inovasi apa yang harus dibuat dan apa keinginan pasar. Pemilihan Bambang Brodjonegoro sebagai Kepala BRIN juga merupakan langkah yang sangat bijak sebab Bambang merupakan salah satu guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan sudah memiliki gelar profesor di bidangnya. Bahkan Bambang adalah guru dari Menteri Keuangan Sri Mulyani di UI.
Walaupun Indonesia bisa dikatakan agak terlambat dalam mengembangkan riset dan penelitian, namun setidaknya ini merupakan langkah awal menuju Indonesia Emas 2045 yang menjadi cita-cita besar dalam usia 100 tahun negara ini. Better late than never, mungkin ini lah kata yang tepat menggambarkan riset dan penelitian Indonesia saat ini. (***)
No Comments