BRIEF.ID – Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyampaikan alternatif kebijakan dari kenaikan biaya perjalanan ibadah haji yakni dibutuhkan pengelolaan dana haji yang tepat sehingga lebih meringankan masyarakat.
Seperti diketahui, Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan kenaikan biaya haji atau biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tahun 2023 sebesar Rp69,19 juta, naik tajam 74 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp39,89 juta. Usulan kenaikan biaya haji ini pun menuai polemik, pasalnya Arab Saudi mengumumkan bahwa biaya paket haji tahun ini turun 30 persen dibandingkan pada 2022.
M. Budi Prasetyo selaku peneliti PEBS dan Dosen FEB UI mengatakan dana haji yang mengendap sangat mungkin untuk dikelola secara optimal oleh pemerintah karena memiliki potensi ekonomi yang besar.
“Dana haji akan lebih optimal jika diinvestasikan pada berbagai instrumen sehingga perlu ada batasan dan panduan untuk alokasi investasi. Terdapat tiga isu penting pengelolaan dana haji, yaitu investasi, risiko, dan sustainability dana haji,” ujarnya dalam Webinar Series yang digelar PEBS FEB UI dengan mengangkat tema “Menelisik Usulan Kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) 2023: Apakah Wajar dan Berkeadilan?”, Jumat (27/1/2023).
Menurut Budi, terdapat beberapa alternatif kebijakan yang dapat mengoptimalkan pengelolaan dana haji seperti mix policy antara kuota haji dan persenan financial assistance biaya haji, switching mechanism untuk memangkas waktu tunggu, dan revisi regulasi untuk mendukung kinerja investasi BPKH. Selain itu juga, efisiensi struktur biaya haji agar lebih terjangkau oleh masyarakat, dan tentunya penguatan governance BPKH dalam mengelola dana haji.
Terkait dengan usulan kenaikan biaya haji sendiri, peneliti PEBS ini juga mencoba melakukan beberapa simulasi skema yang dapat dijadikan pilihan dan dampaknya terhadap sustainability dana haji.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenang, Hilman Latief menyampaikan beberapa hal terkait isu kenaikan biaya haji ini. Pertama, biaya haji bersifat sangat dinamis karena menyesuaikan dengan kondisi makroekonomi yang sedang tidak stabil. Kedua, terkait penurunan biaya layanan 30 persen untuk jamaah domestik oleh Arab Saudi, bahwa penurunan ini bukan berasal dari layanan keseluruhan, melainkan hanya layanan 4 hari selama di Arafah, Mina, dan Muzdalifah.
Ketiga, pemerintah terus berusaha untuk menyusun sebuah desain pengelolaan keuangan haji yang wajar, sehat, dan berkelanjutan serta resilien terhadap kondisi ketidakpastian global. Selain itu, seluruh pemangku kebijakan perlu mencari alokasi pembebanan biaya haji yang proporsional untuk jamaah dan pemerintah dengan mempertimbangkan kondisi yang ada.
“Pemerintah tidak pernah berniat menyusahkan masyarakat calon haji, namun justru ingin meningkatkan pelayanan haji kepada masyarakat,” tegasnya.
Hadir sebagai pembicara webinar, Diah Pitaloka yang mewakili Komisi VIII DPR RI mengatakan pemerintah (Kemenag) tidak bisa selalu menaikkan biaya haji tiap tahunnya. “Sekalipun ingin dinaikkan, perlu rasionalisasi yang jelas dan besaran yang wajar. Pemerintah perlu memikirkan nasib jamaah haji tunggu dan mencari titik optimal agar jamaah tidak membayar hingga Rp69 juta,” ujarnya.
Menurut Diah, hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penyelenggaraan haji. Misalnya dengan melakukan penyesuaian durasi berada di Saudi dan efisiensi biaya variabel lainnya. Dia berharap bahwa pemerintah mampu mengoptimalkan investasi agar bisa membawa keuntungan bagi ekosistem haji serta memanfaatkan momentum kenaikan biaya haji ini untuk meningkatkan layanan secara lebih baik.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah menyampaikan bahwa keuangan haji saat ini berada pada kondisi yang sehat dan siap mendukung pelaksanaan haji 1444H/2023M. Hal ini menurutnya tercermin dari lima hal. Pertama, pemenuhan tingkat likuiditas keuangan haji yakni sebesar 2.22 x BPIH. Kedua, posisi dana yang bersifat likuid sangat mencukupi, di mana posisi penempatan dana di bank adalah sebesar Rp48,97 triliun per Desember 2022.
Ketiga, kondisi keuangan haji pun sangat solven, di mana rasio solvabilitas mencapai 102,74 persen. Keempat, nilai manfaat keuangan haji diproyeksikan meningkat hingga Rp10,01 triliun, yang akan digunakan untuk memenuhi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, kegiatan kemaslahatan (CSR), maupun alokasi Nilai Manfaat Virtual Account. Kelima, BPKH sedang mempersiapkan pengadaan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji dalam valuta asing yang berkoordinasi dengan perbankan.
Sementara itu, M. Hasan Gaido selaku pelaku di industri haji dan umrah Indonesia menyoroti beberapa hal. Dia membenarkan bahwa memang terjadi kenaikan pada beberapa komponen penyelenggaraan haji di Arab Saudi, terutama terkait biaya produk dan layanan.
Gaido juga memberikan beberapa masukan terkait strategi pengelolaan haji baik pengelolaan dana maupun layanan, yang diharapkan mampu mengoptimalkan nilai manfaat dana haji dan mengurangi beban yang ditanggung calon jamaah.
Saran utamanya adalah terkait investasi langsung yang dapat dilakukan oleh BPKH di Arab Saudi. Salah satu sektor yang cukup signifikan adalah perhotelan, sehingga sektor ini mungkin merupakan sektor strategis yang dapat digarap oleh BPKH. Gaido juga menyarankan perlunya diplomasi dengan pemerintah Arab Saudi dan Timur Tengah lainnya terkait kerjasama bisnis yang lebih luas mulai dari perhotelan, bank syariah, teknologi informasi, perlengkapan haji-umrah, katering, travel agent, provider internet, layanan kesehatan, transportasi, logistik, hingga ekspor-impor.
No Comments