Bencana Sumatera 2025 dan Harga Mahal Kelalaian Pencegahan

BRIEF.ID – Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sepanjang 2025 bukan sekadar tragedi kemanusiaan. Ia adalah pengingat pahit bahwa biaya yang diabaikan untuk pencegahan pada akhirnya akan ditagih berkali lipat, dan kelompok masyarakat paling rentan yang paling pertama menanggung beban.

Laporan terbaru CORE Indonesia bertajuk Konsekuensi Ekonomi di Balik Duka Sumatera menunjukkan bahwa dampak bencana ini telah meluas dari kerusakan fisik menjadi tekanan serius terhadap kinerja ekonomi nasional dan daerah.

CORE mengestimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 berpotensi terkoreksi sebesar -0,02%, terutama akibat lumpuhnya aktivitas ekonomi di tiga provinsi terdampak yang menyumbang sekitar 9% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

“Bencana Sumatera berpotensi mengoreksi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar -0,02% pada 2025. Dengan koreksi ini, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah pada 2025 dan 2026 kemungkinan akan semakin sulit dicapai,” tulis CORE dalam laporannya.

Dari ketiga provinsi yang terdampak, Aceh diproyeksikan mengalami tekanan ekonomi paling dalam, dengan koreksi pertumbuhan mencapai -0,44%. Sumatera Barat diperkirakan tertekan -0,36%, sementara Sumatera Utara -0,15%. Tekanan ini tidak berhenti pada pertumbuhan semata, tetapi merembet ke investasi dan serapan tenaga kerja.

CORE mencatat pertumbuhan investasi di Aceh berpotensi terpangkas -2,19%, jauh lebih dalam dibandingkan Sumatera Barat (-1,45%) dan Sumatera Utara (-0,86%). Sektor konstruksi dan transportasi menjadi yang paling terdampak, seiring rusaknya infrastruktur dan terputusnya rantai pasok antarwilayah.

Kondisi ini menandai risiko scarring effect, luka ekonomi jangka panjang, di mana guncangan akibat bencana tidak berhenti pada fase darurat, melainkan berlanjut dalam bentuk tertundanya investasi, melemahnya basis pajak daerah, dan penurunan daya beli rumah tangga.

Biaya Pemulihan Tak Terhindarkan

Dari sisi fiskal, beban yang harus ditanggung negara tidak kecil. CORE mengestimasi biaya pemulihan infrastruktur fisik di tiga provinsi terdampak mencapai Rp77,4 triliun. Angka ini bahkan belum memasukkan kerugian non-fisik, seperti lumpuhnya aktivitas ekonomi rumah tangga, trauma psikis, serta ketertinggalan pendidikan anak-anak di wilayah terdampak.

Ironisnya, biaya sebesar itu 30 kali lipat lebih mahal dibandingkan biaya pencegahan yang seharusnya dikeluarkan. CORE memperkirakan, untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan di Sumatera, pemerintah hanya memerlukan sekitar Rp2,6 triliun per tahun, terutama untuk reforestasi dan peremajaan perkebunan.

Perbandingan ini mempertegas satu pesan kunci: pencegahan bukan beban fiskal, melainkan investasi ekonomi.

Masalah semakin kompleks karena keterbatasan fiskal daerah. Analisis CORE terhadap 52 kabupaten/kota terdampak menunjukkan bahwa rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp159,9 miliar, jauh dari kebutuhan pemulihan yang rata-rata mencapai Rp700 miliar per daerah. Sebanyak 63% daerah terdampak bahkan berada dalam kategori kapasitas fiskal rendah dan sangat rendah .

Dengan struktur fiskal seperti ini, pembiayaan mandiri nyaris mustahil dilakukan, bahkan dengan refocusing anggaran sekalipun. Tanpa dukungan penuh pemerintah pusat, beban pemulihan berisiko jatuh sepenuhnya ke masyarakat terdampak—memperdalam kemiskinan dan memperpanjang ketimpangan.

Desakan Status Bencana Nasional

Dalam konteks inilah CORE mendesak pemerintah pusat untuk segera menetapkan status bencana nasional. Status ini dipandang krusial untuk membuka akses pembiayaan yang lebih luas, termasuk realokasi anggaran lintas kementerian/lembaga dan bantuan internasional, sebagaimana pernah dilakukan pascatsunami Aceh 2004.

Tanpa langkah tersebut, pemulihan diperkirakan akan berjalan lambat. Hingga akhir Desember 2025, masih tercatat 80 desa di Aceh dan delapan desa di Sumatera Utara dalam kondisi terisolasi, sementara kebutuhan rehabilitasi terus bertambah.

“Tanpa status bencana nasional dan tanpa bantuan internasional, rumah tangga terdampak terutama di daerah yang aksesnya belum membaik, diperkirakan akan semakin menderita,” tulis CORE.

Lebih jauh, CORE menegaskan bahwa bencana Sumatera 2025 tidak bisa dilepaskan dari masalah struktural yang telah lama terakumulasi, yaitu degradasi hutan, ekspansi ekonomi ekstraktif, lemahnya penegakan AMDAL, serta tata kelola kehutanan yang rentan konflik kepentingan.

Tanpa reformasi struktural dalam pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan ekonomi yang benar-benar berorientasi keberlanjutan, pertumbuhan ekonomi yang dicapai berisiko menjadi “PDB semu”, tinggi dalam jangka pendek, tetapi rapuh ketika diuji oleh krisis lingkungan.

Bencana ini, pada akhirnya, bukan hanya soal hujan ekstrem atau siklon tropis. Ia adalah cermin dari pilihan-pilihan kebijakan ekonomi yang selama ini menempatkan pertumbuhan di atas ketahanan. Dan seperti yang kembali dibuktikan di Sumatera, harga dari pilihan itu selalu dibayar paling mahal oleh mereka yang paling tidak mampu. (ano)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Pramono Umumkan UMP Jakarta Sebesar Rp 5,7 Juta Per Bulan

BRIEF.ID –  Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo resmi...

Rosan : Selamat Hari Natal

BRIEF.ID - Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman...

Wagub DKI Rano Karno Safari Malam Natal

BRIEF.ID – Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Rano Karno...

Pramono Ajak Umat Kristiani Rayakan Natal Dalam Kesederhanaan

BRIEF.ID – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengajak seluruh...