BRIEF.ID – Anggota Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puadi meminta lembaga survei politik bersikap independen menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. Lembaga survei politik juga harus menjaga integritasnya bagi kepentingan politik, bersikap independen, dan berpihak pada publik.
“Jangan sampai nanti kelengkapannya sudah lengkap, salah satunya berbadan hukum. Tapi diproses di metode, misalnya kaitannya dengan sampling itu dimanipulasi,” kata anggota Bawaslu Puadi saat menjadi pembicara pada diskusi bertema “Menegaskan Posisi & Peran Lembaga Survei Menghadapi Pemilu 2024” Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Diskusi digelar dalam rangka peluncuran Asosiasi Peneliti Persepsi Publik Indonesia (Aseppsi).
Puadi mengatakan, lembaga survei politik adalah bagian dari partisipasi masyarakat yang diatur dalam Undang Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 338 hingga Pasal 450.
Ia menuturkan, berdasarkan Pasal 488 poin kedua item c dan d disebutkan partisipasi masyarakat dalam pemilu dapat berupa survei atau jajak pendapat tentang pemilu dan penghitungan cepat hasil pemilu.
Oleh sebab itu, lembaga survei politik wajib mengedepankan metodologi ilmiah dan menghindari manipulasi yang berdasarkan pada pesanan politik.
Menurut dia, jika sebuah survei dilakukan karena pesanan politik, maka data yang dibeberkan ke publik sudah tidak ilmiah. Dia mengatakan, tidak sedikit survei dilakukan karena pesanan politik.
“Ada pesanan nggak nih, kan tidak sedikit, khawatir nanti lembaga survei ada pesanan dari yang punya pesanan apa. Kalau hal itu terjadi, maka tidak ilmiah lagi apa yang digunakan dalam lembaga survei tersebut. Prinsip ini harus jelas, metodenya juga harus jelas,” jelas Puadi.
Puadi menjelaskan mengenai penghitungan cepat berdasarkan putusan MK nomor 9 Tahun 2009 dan 24 Tahun 2014 menunjukkan pertimbangan hukum MK yang menyatakan tidak ada data yang akurat untuk menunjukan bahwa quick count (penghitungan cepat) mengganggu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan.
Disebutkan, dalam dua putusan MK harus diingat bahwa quick count bukanlah hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui.
“Oleh sebab itu, menurut Mahkamah pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945,” kata dia.
Ia melanjutkan, pengaturan quick count selanjutnya mengalami perubahan norma dari yang sebelumnya hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari pemungutan suara, menjadi hasil penghitungan cepat pemilu bisa dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sesuai Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017.
“Bawaslu punya kewenangan dalam penanganan kode etik dan pidana pemilu apabila lembaga survei diduga melanggar prinsip metodologis ilmiah dan tidak bertendensi. Jadi jangan ada tendensi dan manipulasi,” kata dia.
No Comments