BRIEF.ID – Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo mengungkapkan bahwa sampai saat ini komoditas batubara masih menjadi backbone untuk mendorong pembangkit listrik di Tanah Air.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara hingga saat ini masih menjadi andalan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi. Bahkan, harga listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) belum bisa menyaingi harga listrik PLTU berbasis batubara.
“Eksisting saat ini adalah energi fosil 87% dan renewable 13%,” kata Banjaran saat memberikan pemaparan dalam diskusidengan kalangan pelaku Public Relations yang dilakukan secara hybrid, Minggu (8/1/2023).
Ia mengatakan, pada COP 26 di Glasglow, Skotlandia, Inggris, tahun 2021 Indonesia telah berkomitmen untuk meninggalkan batubara. Selain itu, bank-bank internasional juga sepakat mengakhiri pendanaan untuk pembangkit listrik tenaga batubara.
“Berdasarkan komitmen COP26 di Skotlandia itu memang terjadi, kita (Indonesia) akan bergeser ke fuel non fosil bahan baku. Tapi itu, bagi kami para ekonom, masih perlu dipertimbangkan,” jelas Banjaran.
Disebutkan bahwa apabila Indonesia menghentikan penggunaan energi batubara pada 2030 sedangkan ketersediaan suplai diproyeksi sampai tahun 2050.
Saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa 7 Unit 1 di Serang, Banten adalah pembangkit berbasis batubara terbesar di Indonesia dengan total kapasitas 2 X 1.000 MW. PLTU besar lainnya adalah Paiton 3 di Desa Binor, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang berkapasitas 815 MW.
“Pertanyaannya, siapa yang akan mengkompensasi suplai yang tidak tergunakan. Ini sebetulnya dilakukan sejak tahun lalu, ekspor didorong habis-habisa supaya memberikan refresh kepada perusahaan-perusahaan memanfaatkan kenaikan harga dan suplai komoditas,” jelas Banjaran.
No Comments