BRIEF.ID – Aliansi Ekonom Indonesia menyerukan 7 Desakan Darurat Ekonomi menyikapi dinamika sosial serta implementasi penyelenggaraan negara akhir-akhir ini.
Sebagai individu-individu yang secara profesi berkiprah dalam memahami kehidupan masyarakat dengan analisis berdasar teori, logika, dan data, Aliansi Ekonom Indonesia melihat semakin jauhnya rentang kehidupan bernegara dari visi “keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.
Para ekonom menilai, walau ada tekanan dari guncangan global, kondisi di Indonesia sekarang ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan akumulasi dari berbagai proses bernegara yang kurang amanah.
“Kami melihat penurunan kualitas hidup terjadi di berbagai lapisan masyarakat secara masif dan sistemik. Hal ini tidak terjadi tiba-tiba, melainkan akumulasi berbagai proses bernegara yang kurang amanah, sehingga menyebabkan berbagai ketidakadilan sosial,” demikian pernyataan Aliansi Ekonom Indonesia.
Adapun beberapa bentuk ketidakadilan sosial yang terjadi, antara lain:
1. Pertumbuhan ekonomi yang menurun kualitasnya dan jauh dari inklusif, sehingga manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat kebanyakan.
Pada periode 2010-2020 (sebelum Covid-19) pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,4% dan mampu mengungkit upah riil yang tumbuh 5,1%. Namun, pada periode 2022-2024 (Pasca Covid-19), perekonomian tumbuh 5%, sedangkan upah riil stagnan dan hanya tumbuh 1,2%.
2. Tingginya ketimpangan dalam berbagai dimensi kelompok, baik dari sisi pendapatan, wilayah, latar belakang sosial, dan demografi, yang ditandai dengan mandeknya peningkatan kesejahteraan kelompok bawah, rentan dan menengah, sementara kelompok atas tumbuh lebih pesat.
Sebagai contoh, tingkat kemiskinan di Maluku dan Papua secara persisten lebih tinggi dari tingkat kemiskinan diwilayah lainnya di Indonesia.
Masyarakat juga mengalami perlambatan pertumbuhan rata-rata pengeluaran per kapita di periode 2018-2024dibandingkan periode 2012-2018 dengan koreksi pertumbuhan rata-rata 2 poinpersentase.
3. Menyusutnya ketersediaan lapangan kerja yang berkualitas bagi masyarakat kebanyakan, termasuk untuk kalangan muda yang merupakan aset bangsa yang krusial.
Hal itu terlihat dari 80% penciptaan lapangan kerja baru (sekitar 14juta) antara 2018–2024 berada di sektor berbasis rumah tangga (home-based enterprise) dengan upah di bawah rata-rata nasional. Bahkan di pekerjaan formal, 25% pekerja pemerintah dan 31% pekerja swasta belum memiliki asuransi kesehatan.
Selain itu, tingkat pengangguran usia 15–24 tahun selama 2016–2024 selalu di atas 15% atau tiga kali lipat dibanding usia 25–34 tahun. Lebih dari 25% anak muda Indonesia tidak produktif (tidak bekerja dan tidak sekolah), khususnya perempuan.
4. Proses pengambilan kebijakan yang tidak berdasarkan bukti dan minim teknokrasi sehingga menyebabkan misalokasi sumberdaya termasuk lemahnya tata kelola kelembagaan, serta kurangnya empati dan keterbukaan atas masukandan kritik sehingga berbagai kebijakan dan program tidak menjawab kebutuhan masyarakat.
Hal itu, terlihat dari anggaran untuk Polri maupunKementerian Pertahanan termasuk TNI tumbuh hampir 6 kali lipat dari 2009 hingga2026, sedangkan anggaran untuk perlindungan sosial hanya tumbuh 2 kali lipat.
Kenaikan eksponensial anggaran lain-lain dalam APBN dalam beberapa tahun terakhir yang mengimplikasikan buruknya perencanaan hinggamenekan pembiayaan pada prioritas anggaran lainnya.
Contoh lain dari pengambilan kebijakan minim bukti dan teknokrasi adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang alokasi anggarannya pada tahun 2026 sebesar Rp335 triliun dan mencakup 44% anggaran pendidikan.
Kebijaan MBG dibuat pada saat masih begitu banyak persoalan kualitas dan akses pendidikan yang belum teratasi sehingga kebijakan ini bukan hanya berpotensi menghabiskan anggaran yang sangat tinggi, namun juga menjadi ancaman serius bagi reformasi di sektor pendidikan.
5. Ketidakhadiran negara dalam bentuk perlindungan terhadap masyarakat daririsiko penghisapan sumber daya ekonomi, seperti maraknya pungutan liar padausaha masyarakat dan judi online yang merongrong kemampuan masyarakat, terutama yang rentan untuk berdaya.
Hal itu terlihat dari data yang menunjukkan bahwa 15% usaha kecil, 24% usaha menengah, dan 35% usaha besar Indonesia harus membayar pungutan liar, jauh lebih besar daripada tingkat insiden pungutan liar di Asia Timur dan Pasifik.
Selain itu, PPATK memperkirakan nilai transaksi judi online mencapai Rp1.200 triliun pada 2025. Jumlah deposit yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur juga mencapai Rp2,2 miliar.
6. Tercederainya kontrak sosial negara dan masyarakat termasuk tidak dipenuhinyakewajiban negara pada warganya. Hal ini terjadi khususnya setelah tertutupnya kanal penyampaian aspirasi, persekusi yang didorong konflik kepentingan, gugurnya warga negara dalam upaya menuntut haknya, dan diabaikannya keamanan sipil.
Aliansi Ekonom Indonesia menilai, benang merah dari permasalahan perekonomian ini alah misalokasi sumber daya yang masif, dan rapuhnya institusi penyelenggara negara karena konflik kepentingan dan tata kelola yang tidak amanah.
Dengan mempertimbangkan permasalahan tersebut, serta riuhnya persaingan tidak sehat antarelit politik dalam proses bernegara, para ekonom menyerukan 7 Desakan Darurat Ekonomi.
Ke-7 Desakan Darurat Ekonomi tersebut ditujukan kepada para penyelenggara negara, demi terciptanya perbaikan kesejahteraan masyarakat berdasarkan nilai-nilai negara Indonesia yaitu kemerdekaan, perdamaianabadi, dan keadilan sosial.
Adapun ke-7 Desakan Darurat Ekonomi yang disampaikan Aliansi Ekonom Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkananggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
2. Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.
3. Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.
4. Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yangmenghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif
5. Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
6. Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalampengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih,sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).
7. Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tatakelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.
Sebagai informasi, seruan 7 Desakan Darurat Ekonomi tersebut disampaikan oleh 384 ekonom, yang namanya dilampirkan dalam surat terbuka. (jea)