oleh DR Algooth Putranto
Pemerintah Indonesia terkesan gamang bersikap terhadap konflik Rusia-Ukraina. Kementerian Luar Negeri mengecam, tapi Pak Presiden Joko Widodo memilih lebih santun melalui unggahan di akun Twitter resminya pada Jumat (25/2/2022): “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.”
Warganet Indonesia pun menanggapi unggahan Presiden Jokowi dengan sangat santuy (santai) agar Presiden segera menangani kelangkaan minyak goreng, tahu, dan tempe. Selain itu, warganet juga meminta Jokowi untuk fokus mengurus BPJS Ketenagakerjaan yang menuai kontroversi lantaran Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa cair saat pekerja berusia 56 tahun.
Relasi komunikasi antara pemimpin Republik ini dan warganya, secara mudah menyiratkan pola pikir bangsa ini yang terlalu lama cenderung terjerumus pada pola pemikiran inward looking sebagai imbas keadaan instabilitas di akhir pemerintahan Soeharto dan masa Reformasi.
Hal ini ironis mengingat Indonesia memiliki kiprah sebagai anggota tidak tetap bahkan sempat dipercaya menjabat Presidensi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang baru berakhir pada Agustus 2020.
Penulis melihat Indonesia gamang bersikap dalam hal konflik Rusia-Ukraina, padahal amanat UUD 1945 jelas. Tujuan politik luar negeri Indonesia adalah menciptakan ketertiban dunia. Bukan cuma terlibat ngirim kontingen Garuda ke Mesir, Kongo, Vietnam, Irak, hingga Lebanon.
Bisa jadi ini terjadi akibat kecenderungan cara pandang yang berorientasi ke dalam (inward looking) yang muncul karena instabilitas politik dan ekonomi dalam negeri yang berlangsung cukup lama sejak akhir pemerintahan Presiden Soeharto.
Reformasi dan demokratisasi berhasil mewujudkan pemilihan umum di tingkat pusat dan daerah secara langsung sejak 1999 dan berlangsung intens membuat energi masyarakat dan pemimpin politik dan ekonomi habis terserap.
Masyarakat Indonesia terus menerus berkutat pada kondisi ketidakpastian politik, akibatnya masyarakat dan elit mengalami titik jenuh melibatkan diri pada upaya mewujudkan perdamaian dunia. Kalau pun terlibat hanya pada isu yang bersifat tradisional yakni Palestina.
Ini juga karena, lanjutnya, tekanan masyarakat kita yang sangat peduli pada isu Palestina. Sisa yang lebih banyak sikap Pemerintah Indonesia terhadap perdamaian dunia cenderung menjadi penonton yang baik.
Meski demikian, kita jangan membandingkan sikap Pemerintah Presiden Joko Widodo dalam menerapkan politik bebas aktif untuk mewujudkan perdamaian dunia internasional terutama di wilayah Eropa Timur dengan masa-masa Pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Pada masa Presiden Soekarno, Indonesia adalah negara anak bawang sehingga perlu menampilkan diri secara agresif di tengah kondisi dunia terbelah antara Blok Barat dan Blok Timur meskipun kantong kering dan perut kelaparan.
Sementara di masa Presiden Soeharto, perekonomian dalam negeri mulai membaik sebagai imbas oil boom sehingga pola outward looking semakin agresif. Indonesia bahkan memposisikan sebagai pemimpin regional.
Soekarno fokus dengan ide Non Blok bahkan dekat dengan pemimpin Yugoslavia, Joseph Broz Tito sehingga tenar di Eropa Timur, sedangkan Soeharto menginisasi ASEAN dan berperan mendorong kestabilan Asia Tenggara. Proyek terakhir Soeharto yang fenomenal ya terlibat dalam perdamaian di Balkan.
Setelah dua presiden tersebut, sejauh ini belum ada yang tegas memberikan perhatian pada Eropa Timur. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diam saja ketika terjadi konflik lima hari di Georgia pada 2008 dan Semenajung Crimea (Ukraina) pada 2014.
Sayangnya, Presiden Joko Widodo pun justru memilih tidak tegas kepada tindakan Rusia yang melakukan invasi ke jantung Ukraina tahun ini. Apa pun alasan Presiden Rusia, adalah fakta bahwa Ukraina adalah negara berdaulat.
Jujur saja, Penulis masih bingung dengan sikap Presiden Jokowi, setelah sebelumnya memberikan harapan besar ketika berani bersikap pada agresivitas China di Natuna, namun tak lama kemudian memilih tunduk pada tekanan Amerika Serikat untuk membatalkan kontrak pesawat tempur Sukhoi.
Bisa jadi Pak Jokowi dan bangsa ini ya kini lebih pusing mikirin harga dan kesediaan minyak goreng, kedelai, gula, daging hingga elpiji bagi masyarakat akhir-akhir ini. Rusia, Ukraina? Boro-boro!