Harga Minyak Turun, Rupiah Kian Tertekan

BRIEF.ID – Saat ini, kenyataan pahit di depan mata adalah harga minyak terus berfluktuasi yang dipicu berbagai faktor, termasuk kondisi geopolitik, permintaan global, dan kebijakan produksi  negara-negara produsen utama.

Penurunan harga minyak berkontribusi pada tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, terutama jika Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan atau neraca transaksi berjalan. Apalagi Indonesia lebih banyak mengimpor dari pada mengekspor minyak.

Di pasar global, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) saat ini berada di kisaran US$ 61,35 hingga US$ 61,61 per barel. Harga ini mencerminkan kontrak berjangka untuk pengiriman Mei 2025.​

Harga minyak  sepertinya  berpotensi  turun terus hingga ke level US$ 50 per barel bahkan US$ 43 per barel.  Penurunan ini terjadi akibat OPEC+ dan Amerika Serikat meningkatkan pasokan minyak, sehingga keseimbangan pasar terganggu.

Dengan permintaan yang masih lemah dan stok minyak yang terus bertambah, harga minyak cenderung akan semakin turun ke depannya.

Perang tarif yang makin horeg bin brisik juga mengguncang pasar dunia, termasuk harga minyak.  Nilai minyak mentah anjlok sangat cepat, mendorong  harga WTI turun hingga di bawah US$ 60 per barel.

Disisi lain, OPEC+ memutuskan untuk menambah produksi minyak lebih dari 411.000 barel per hari mulai Mei tahun ini, karena kekhawatiran tentang tingkat pasokan global. Jika tarif tetap diberlakukan dan tidak ada perubahan besar, harga minyak bisa terus merosot, bahkan mencapai US$ 40 per barel dalam jangka panjang.

Apakah Penurunan Harga Minyak Baru Dimulai? Harga minyak turun akibat kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden  Donald Trump. Kebijakan amburadul Presiden Trump berakibat pasar bereaksi negatif terhadap tanda-tanda perlambatan ekonomi global.

Di sisi lain, penurunan ini sebenarnya menguntungkan Presiden Trump. Partai Republik sering mendukung harga minyak rendah karena akan membantu konsumen AS jika  menjaga harga bahan bakar tetap terjangkau dan mencegah inflasi melonjak. Ini juga memberi alasan bagi Federal Reserve untuk memangkas suku bunga,  sesuatu yang diminta Presiden Trump kepada Ketua Federal Reserve  AS, Jerome Powell.

Secara geopolitik, harga minyak murah akan memberi tekanan pada Rusia, yang bergantung pada pendapatan minyak, terutama di tengah konflik negeri itu dengan Ukraina, yang masih berlangsung. Rusia tampaknya belum berminat menghentikan konflik dan terus menggunakan taktik diplomatik untuk mengulur waktu.

Ironisnya, OPEC+ yang biasanya ingin menjaga harga minyak tinggi, justru menambah tekanan pada harga dengan menaikkan produksi sebesar 411.000 barel per hari sejak Kuartal II-2024. Sementara itu, AS berencana meningkatkan pasokan minyaknya secara signifikan, bahkan mungkin tiga kali lipat mulai bulan depan. Langkah-langkah ini membuat pasokan minyak dunia berpotensi melebihi permintaan.

Konsumsi Masih Lemah

Pasokan minyak global saat ini sedang melonjak. Selain kenaikan produksi OPEC+ sebesar 411.000 barel per hari, AS juga meningkatkan ekspor minyaknya. Data terbaru dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa produksi minyak AS mencapai rekor 13,2 juta barel per hari pada awal 2025, dengan rencana untuk menambah lagi 500.000–700.000 barel per hari hingga akhir tahun.

Sementara itu, negara lain seperti Kanada dan Brasil juga meningkatkan produksi, masing-masing sekitar 200.000 dan 150.000 barel per hari, menambah tekanan pada pasar.

Di sisi permintaan, konsumsi minyak global masih lemah. Laporan dari International Energy Agency (IEA) memperkirakan permintaan minyak dunia hanya tumbuh 1,1 juta barel per hari di 2025, lebih rendah dari rata-rata sebelum pandemi. Perlambatan ekonomi di Eropa dan Asia, ditambah dengan peralihan ke energi terbarukan, menekan permintaan.

Di Tiongkok, meskipun ada sedikit kenaikan permintaan sebesar 200.000 barel per hari baru-baru ini, konsumsi masih di bawah ekspektasi karena pemulihan ekonomi yang lambat.

Laporan EIA terbaru mencatat kenaikan stok minyak AS sebesar 5,8 juta barel dalam sepekan, jauh di atas perkiraan analis sebesar 2 juta barel. Ini menunjukkan bahwa pasokan terus menumpuk.

Sejak tahun 2022, harga minyak WTI  berada di kisaran antara US$ 65 – US$ 95 per barel. Namun, belakangan  ini harga jatuh di bawah batas bawah itu. Penembusan ini bisa jadi tanda bahwa tren penurunan akan berlanjut.

Dari sisi teknikal, level support berikutnya ada di sekitar US$ 43 per barel, dengan US$ 50 sebagai target jangka pendek. Jika harga kembali naik ke kisaran $65–$95, itu bisa menunjukkan bahwa tren penurunan mulai melemah.

Secara teori penurunan harga minyak dunia seharusnya bisa menurunkan harga BBM di Indonesia karena Indonesia adalah negara net importir minyak, jadi biaya impor BBM jadi lebih murah.

Saat harga minyak mentah WTI turun di bawah US$ 65 per barel, ini bisa menghemat anggaran negara untuk subsidi BBM dan berpotensi menurunkan harga di pom bensin. Tapi, ada faktor lain yang bikin ceritanya gak sesederhana itu, terutama pelemahan rupiah.

Meski harga minyak dunia turun, BBM diimpor menggunakan mata uang dolar AS. Tidak heran disaat  nilai tukar rupiah melemah, misalnya ke Rp 16.800 per dolar seperti sekarang, biaya impor dalam rupiah tetap tinggi. Jadi, penghematan dari harga minyak rendah “tergerus” oleh nilai tukar.

Harga BBM di Indonesia, terutama Pertalite dan Solar, diatur pemerintah lewat subsidi. Pemerintah  memilih untuk tidak langsung menurunkan harga BBM meski minyak murah, karena mereka harus menutup biaya subsidi yang sudah membengkak akibat rupiah lemah. Malah, dana dari “penghematan” ini bisa dialihkan ke sektor lain, seperti bansos atau infrastruktur.

Selain harga minyak mentah, harga BBM juga dipengaruhi oleh biaya pengolahan di kilang, distribusi, dan pajak. Kilang di Indonesia masih terbatas, jadi banyak BBM jadi harus diimpor, yang lagi-lagi kena dampak nilai tukar. Biaya logistik dalam negeri juga naik kalau BBM untuk transportasi tetap mahal.

Apabila nilai tukar Rupiah terus melemah, kemungkinan besar harga BBM gak akan turun signifikan dalam waktu dekat, meskipun harga minyak dunia anjlok. Pemerintah diprediksi akan menahan harga seperti sekarang untuk menjaga stabilitas anggaran.

Kalau rupiah melemah lebih parah lagi, misalnya ke posisi Rp 17.000 per dolar AS atau bahkan lebih tinggi, maka tekanan untuk menaikkan harga BBM malah bisa muncul, karena subsidi akan makin membebani APBN.

Untuk itu,  mari berdoa supaya nilai tukar Rupiah membaik dan harga minyak turun, sehingga kita bisa menikmati harga BBM murah yang bisa membantu perbaikan daya beli masyarakat. (nov)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Emas Jadi Solusi Investasi di Tengah Ketidakpastian Global, BSI Permudah Transaksi Logam Mulia

BRIEF.ID – Emas menjadi solusi investasi di tengah ketidakpastian...

Bank Sentral Terus Koleksi Emas, Ekonomi Dunia Masuk Periode Krisis?

BRIEF.ID - World Gold Council melaporkan bank sentral di...

Usai Lawatan ke Lima Negara, Presiden Prabowo Tiba di Tanah Air

BRIEF.ID – Presiden Prabowo Subianto tiba di Tanah Air,...

Survei BI, Konsumen Optimistis Kondisi Ekonomi Terjaga

BRIEF.ID - Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Maret...