Ketua Majelis Hakim Suhartoyo Tegur Menko PMK Muhadjir Effendy

April 5, 2024

BRIEF.ID – Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo, menegur Menko PMK Muhadjir Effendy, karena menyebut kunjungan Presiden Joko Widodo membagi bantuan sosial (bansos) tidak mempengaruhi suara Pemilu 2024.

Hal itu terjadi dalam sidang Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), yang menghadirkan 4 menteri Kabinet Indonesia Maju di Gedung MK, Jakarta, Jumat (5/4/2024).

Para menteri yang hadir adalah Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.

Sidang mengagendakan penjelasan para menteri terkait dalil-dalil yang disampaikan Pasangan Calon (Paslon) 1 dan Paslon 3 dalam permohonan PHPU Pilpres 2024 di MK.

Pada sesi ke-2 sidang, setelah skors untuk Salat Jumat, Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo memberikan kesempatan pertama kepada Menko PMK Muhadjir Effendy untuk memberikan jawaban atas pertanyaan para hakim.

Muhadjir kemudian memberikan jawaban mengenai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sebagai Menko PMK terkait program bantuan sosial (bansos) yang disalurkan kepada masyarakat hingga masa kampanye Pemilu 2024.

Muhadjir menjelaskan, pemerintah selalu mengambil treatment dengan tingkat paling maksimal atas risiko dari krisis setelah mendengar pemaparan dan masukan para ahli.

“Kami mengambil dampak yang paling tinggi, yakni 22 juta keluarga penerima manfaat, maka oleh bantuan ini bisa meng-cover hingga 80 juta bahkan 90 juta jiwa,” kata Muhadjir.

Meski demikian, yang sebetulnya terdampak hanya sekitar 4 juta kepala keluarga (KK) dan sisanya di level lebih bawah. Itu sebabnya mungkin setelah pengecekan ada keluarga yang tidak perlu dibantu.

Muhadjir menyebut, data tersebut berdasarkan data P3KE yang ada di Kemenko PMK yang didasarkan pada data BPS dan juga kepala desa.

Disusupi Kepentingan Pribadi
Muhadjir kemudian menjawab pertanyaan Hakim Ridwan Mansyur mengenai teori administrasi publik dalam hal ini negative externality akibat disusupi kepentingan pribadi.

“Kalau dalam teori administrasi publik kan ada negative externality. Jadi seorang pejabat publik memasukkan kepentingan pribadi atau kelompoknya dalam kebijakan, maka itu sudah terjadi negative externality,” ungkap Muhadjir.

Dia menjelaskan, ada negative externality yang disengaja, ada yang tidak disengaja, dan hal itu berpulang kepada pribadi masing-masing pejabat publik.

Hal itu disebabkan setiap pejabat publik pasti punya kecenderungan dan preferensi. “Seseorang yang bilang netral 100 persen pasti bohong, karena setiap manusia punya preferensi dan tendensi. Tidak perlu hanya akal sehat, tapi juga dari naluri dan insting,” ujar Muhadjir.

Muhadjir menyampaikan, kunjungan Presiden Jokowi ke berbagai daerah untuk membagikan bansos bukan sekarang saja tapi merupakan salah satu pola kepemimpinan beliau.

“Saya sangat paham karena pernah mendampingi beliau bagi KIP (Kartu Indonesia Pintar), tujuannya agar ter-deliver di lapangan dan bagaimana respons masyarakat,” tutur Muhadjir.

Dia mengungkapkan, Presiden Jokowi juga selalu mendorong belanja di awal tahun, sehingga DIPA biasanya dimasukkan di akhir tahun, sekitar November supaya dapat dianggarkan dan dikucurkan mulai Januari tahun berikut.

Menurut Muhadjir, kunjungan Presiden Jokowi biasanya dilakukan untuk membagi bansos atau hal-hal terkait program untuk pengecekan sekaligus untuk feedback dari masyarakat.

Kunjungan Presiden Jokowi, lanjutnya, bersifat simbolik dan biasanya tidak hanya 1 titik tapi sekitar 5 titik di satu wilayah. Saat ini, karena merupakan periode terakhir pemerintahan Presiden Jokowi, Menko PMK berpendapat, kunjungan lebih banyak dilakukan untuk bansos, juga proyek strategis nasional supaya jangan ada yang mangkrak.

“Menurut saya kalau ada daerah yang sering dikunjungi presiden kemungkinan karena di daerah itu banyak proyek strategi nasional, jadi dicek presiden. Jadi terlalu muskil kalau 100 kunjungan presiden misalnya lalu berpengaruh secara nasional untuk perolehan suara pemilu,” ungkap Muhadjir.

Mendengar penjelasan Muhadjir yang tendensius, Hakim Ketua Suhartoyo menegur dengan menyampaikan, “Mohon Bapak tidak menjawab soal itu.”

Hakim Suhartoyo kemudian mempertegas pertanyaan terkait kunjungan presiden apakah terkait dengan bansos beras untuk 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang disampaikan Badan Pangan Nasional ke Bapanas pada 22 November 2023 atau program lain.

“Kalau sesuai mitigasi, apakah kunjungan Jokowi itu aktualisasi dari program ini, atau kenapa itu tidak di-deliver ke Mensos?” tanya Suhartoyo.

Menko PMK kemudian meminta maaf kepada majelis hakim karena sudah beropini bukan memberikan penjelasan terkait kunjungan Presiden Jokowi.

Muhadjir juga menambahkan bahwa 22.004.000 KPM adalah bantuan beras yang dikucurkan melalui Bapanas, sesuai data P3KE di Kemenko PMK.

Yang mengejutkan, Menko PKM menyebut bansos yang disalurkan Jokowi berada di luar program bansos sesuai DTKS dan bansos beras sesuai P3KE untuk dampak El Nino.

“Ada yang perlu kami sampaikan soal bantuan yang diberikan, jadi kami tidak akan berikan bantuan kecuali ada di DTKS kalau bansos, dan P3KE kalau itu bantuan beras. sedangkan yang dibagi bapak Presiden Jokowi adalah yang di luar itu, mungkin nanti Menkeu akan jelaskan soal itu,” kata Muhadjir.

No Comments

    Leave a Reply