BRIEF.ID – Kinerja 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di sektor keuangan dibayangi nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan tabungan kelas menengah yang tergerus.
Pernyataan itu, disampaikan Direktur Riset CORE Indonesia, Dr. Etikah Karyani, dalam Diskusi 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Telaah Kritis Prospek, Tantangan, dan Peluang Sektor Strategis Tahun 2025, di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Menurut Etikah, saat Prabowo resmi dilantik menjadi Presiden RI pada 20 Oktober 2025, rupiah berada di kisaran Rp15.503 per dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan rupiah terus terjadi dan menyentuh Rp15.849 per dolar AS tepat sebulan pemerintahan Prabowo, yakni pada 20 November 2024, dan terus melemah hingga menembus Rp.16.285 per dolar AS pada bulan kedua pemerintahannya, tepatnya di 20 Desember 2024.
“Pada Senin (20/1/2025), tepat 3 bulan pemerintahan Prabowo dan hari pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS, nilai tukar rupiah menyentuh Rp16.367 per dolar AS,” kata Etikah.
Dia mengungkapkan, potensi pelemahan nilai tukar rupiah akan terjadi sepanjang tahun 2025, antara lain dipengaruhi pasar tenaga kerja zaS yang terus menguat, dan kebijakan proteksi melalui kenaikan tarif barang impor yang akan diberlakukan Donald Trump.
Hal itu juga semakin diperparah dengan perlambatan ekonomi global, kenaikan inflasi global, dan dipertahankannya suku bunga tingginoleh bank-bank sentral.
Etikah menjelaskan, keputusan Bank Indonesia (BI)yang menurunkan suku bunga acuan atau BI-rate saat ekonomi dunia bergejolak akibat Trump effect memang di luar prediksi, karena berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah.
“Meskipun beberapa hari terakhir rupiah menguat, hal itu dipengaruhi intervensi BI untuk meredam gejolak di pasar keuangan pascapelantikan Donald Trump sebagai presiden AS,” ujar Etikah.
Dia mengungkapkan, tekanan juga terjadi pada pasar modal, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah bahkan sempat meninggalkan level psikologis 7.000 karena arus modal asing keluar (capital outflow).
Meski demikian, pasar obligasi justru menarik, khususnya obligasi pemerintah, karena menerapkan suku bunga yang tinggi di atas BI-Rate dan suku bunga perbankan.
Etikah menuturkan, tantangan lain yang dihadapi Prabowo sepanjang 3 bulan pertama pemerintahannya, yaitu tergerusnya simpanan atau tabungan di bank, terutama dari masyarakat kelas menengah.
Penurunan tabungan masyarakat kelas menengah dipicu upah riil yang rendah, ketiadaan penghasilan tetap akibat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan pengetatan pos keuangan.
“Pertumbuhan simpanan yang rendah, dan ketimpangan simpanan antara kelas menengah dan atas, membatasi kemampuan perbankan untuk meningkatkan intermediasisecara berkelanjutan,” ungkap Etikah.
Di sisi lain, lanjutnya, pertumbuhan kredit justru menunjukkan peningkatan, terutama pada platform pinjaman online (pinjol), bahkan yang ilegal sekalipun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap fakta mencengangkan bahwa gen Z banyak mengajukan kredit melalui pinjol, yang digunakan untuk konsumsi gaya hidup. Yang mengejutkan, sekitar 40% kredit bermasalah pada pinjol justru berasal dari gen Z usia (19-34 tahun).
Asuransi Terancam Runtuh
Dia menambahkan, tantangan sektor keuangan yang juga berat bagi pemerintahan Prabowo adalah ancaman runtuhnya industri asuransi.
Menurut dia, literasi asuransi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, namun berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan masyarakat untuk masuk atau memiliki (inklusi) asuransi.
Pada 2022, literasi asuransi kepada masyarakat Indonesia hanya sebesar 31,7%, dengan inklusi sebesar 16,6%. Di 2024, literasi asuransi meningkat menjadi 68,9%, namun inklusinya justru turun menjadi 12,2%.
“Literasi asuransi makin meningkat, tapi inclusinya makin turun, artinya masyarakat kita enggan masuk ke asuransi karena faktor trust (kepercayaan) yang menurun,” tutur Etikah.
Terkait dengan itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pemerintah dan pelaku industri asuransi demi masa depan industri asuransi kita. Pasalnya, ada potensi bonus demografi yang besar, dan risiko penyakit akibat gaya hidup yang meningkat untuk dirambah asuransi.
“Tinggal bagaimana industri asuransi mengubah model bisnis dan meningiatkan kepercayaan lewat permodalan, juga membuat inovasi yang sesuai kebutuhan nasabah seperti yang dilakukan perbankan. Kalau tidak, nanti bisnis asuransi terancam tutup,” ujar Etikah.