BRIEF.ID – Akhir-akhir ini, banyak pembahasan tentang perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat, berdirinya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), maraknya kasus korupsi, hingga kaburnya investor asing yang membuat ekonomi Indonesia gonjang-ganjing.
Sebagian besar masyarakat mungkin bertanya-tanya apa benar kondisi ekonomi yang terasa makin sulit, ditandai dengan kenaikan harga barang tanpa diimbangi peningkatan penghasilan, disebabkan oleh perang dagang, Danantara, kasus korupsi, hingga kaburnya investor asing.
Ada juga yang mungkin mempertanyakan apa hubungannya perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok, atau maraknya kasus korupsi, terhadap kondisi perekonomian Indonesia, dan imbasnya bagi (isi dompet) kita.
1. Perang Dagang Bikin Ekspor-Impor Tertekan
Indonesia adalah salah satu negara jagoan ekspor, terutama komoditas seperti minyak sawit, batu bara, nikel, kopi, karet, minyak dan gas (migas), serta produk olahan seperti tekstil dan alas kaki.
Masalahnya, kalau perang dagang membuat AS dan Tiongkok mengerem belanja termasuk impor, maka permintaan barang akan menyusut termasuk impor dari Indonesia.
Hal ini, pernah terjadi saat perang dagang 2018-2019, di mana ekspor Indonesia sempat anjlok sekitar US$370 juta.
Bayangkan kalau kejadian itu terulang lagi di 2025. Saat ekspor turun, maka uang yang masuk ke kas negara jadi berkurang, lalu berimbas pada pelayanan publik dan subsidi, seperti bantuan operasional sekolah, subsidi rumah sakit, atau subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tak hanya mempengaruhi ekspor, perang dagang juga bisa membuat impor barang makin sulit, dan harga barang menjulang selangit.
Pasalnya, Indonesia adalah negara pengimpor banyak barang, terutama bahan baku buat pabrik. Perang dagang akan membuat harga barang-barang ini makin mahal karena kenaikan tarif.
Ditambah lagi, dolar AS dalam posisi yang kuat terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah yang terus melemah, sehingga biaya impor akan meningkat. per 21 Maret 2025, 1 dolar AS setara Rp16.500.
Lau apa dampaknya bagi masyarakat? Harga barang konsumsi bisa meningkat termasuk harga beras di dalam negeri, mengingat kebutuhan beras di dalam negeri masih belum dapat dipenuhi oleh produksi beras di dalam negeri, sehingga impor beras masih dilakukan.
Kalau harga barang naik, siapa yang paling pusing? Pastinya rakyat biasa karena lonjakan harga barang tidak disertai dengan kenaikan gaji atau penghasilan.
2. Drama Danantara
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mendorong pembentukan Danantara, lembaga dana investasi raksasa yang mengelola aset dari BUMN sebesar Rp14.670 triliun. Tujuannya mulia, biar aset itu dipakai untuk membangun proyek besar, bahkan investasi di sektor produktif, yang bisa menggerakan ekonomi dan menyerap tenaga kerja.
Masalahnya, banyak orang yang skeptis. Soalnya Danantara ini belum jelas cara kerjanya. Apalagi Indonesia sudah punya lembaga serupa, yakni INA (Indonesia Investment Authority). Alhasil bukannya menjadi solusi, kehadiran Danantara malah bikin bingung investor.
3. Ketika Korupsi Jadi Hantu
Janji kampanye Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi membuat investor menaruh harapan tinggi. Apalagi dalam 100 hari pemerintahannya, sejumlah pelaku korupsi benar-benar ditangkap.
Tetapi kepercayaan investor dan masyarakat perlahan menyusut, seiring isu tebang pilih terhadap pelaku korupsi. Apalagi, sejumlah tokoh yang dijerat kasus korupsi, merupakan lawan politik atau pendukung calon presiden (capres) lain, yakni Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto.
Belum lagi sejumlah kasus korupsi besar yang terungkap ke publik prosesnya seperti berjalan lambat, bahkan seolah-olah menjadi pengalihan isu.
Dampaknya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun drastis dari 38 di 2023 menjadi 34 di 2024, begitu juga indeks keyakinan konsumen yang melambat menjadi 126,4 pada Februari 2025 dibandingkan 127,2 pada Januari 2025 (Surveri Konsumen Bank Indonesia).
4. Investor Asing Kabur, IHSG Anjlok
Maraknya kasus korupsi yang tebang pilih dan tak jelas penanganannya, serta kemunculan Danantara yang ternyata menyedor dana hasil efisiensi anggaran, juga menimbulkan trust issue bagi investor asing.
Bagi investor asing, memarkir modal di suatu negara ibarat taruhan. Jika mereka tidak yakin ekonomi Indonesia bakal aman-aman saja, maka mereka bakal menarik modalnya keluar, atau disebut capital outflow.
Sejak awal 2025, dana asing yang cabut dari pasar saham Indonesia sudah mencapai Rp33,17 triliun, dan membuat IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) langsung jeblok 11,61%.
Pada 18 Maret 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara perdagangan saham (trading halt) akibat IHSG turun drastis mencapai 5%.
Penurunan tajam IHSG bukan hanya membuat investor asingg deg-degan, tapi juga investor ritel yang menginvestasikan dananya di pasar saham.
Ironisnya, Presiden Prabowo justru menilai masyarakat golongan kecil, yang berinvestasi di saham mirip dengan berjudi karena keuntungan lebih berpihak ke bandar. Pernyataan tersebut enggak nyambung dengan tagline yang diusung otoritas bursa “Yuk Nabung Saham” untuk menarik investor ritel.
Tak hanya investor, banyak perusahaan pun ikut khawatir, karena ikut menginvestasikan aset di saham. Jika duitnya ilang, bisa-bisa mereka melakukan efisiensi, antara lain PHK karyawan.
Pada awal 2025 saja, sudah lebih dari 60.000 pekerja yang kena PHK, termasuk dari pabrik besar seperti Yamaha yang merumahkan 1.000 karyawan. Bukan cuma di pabrik, sektor logistik juga kena karena barang yang dikirim berkurang.
Efek Domino
Ekspor-impor yang seret, efisiensi anggaran yang bikin banyak program mandek hingga tak bisa menggerakan ekonomi, kasus korupsi yang tebang pilih, Danantara yang meragukan, kaburnya investor asing, hingga ancaman PHK yang meningkat, membuat ekonomi Indonesia lesu.
Semua itu, bukan hanya dipengaruhi ketidakpastian global, tapi merupakan efek domino dari berbagai kebijakan yang tumpang tindih bahkan terkesan dipaksakan pemerintah.
Ekonomi Indonesia di 2025 sepertinya tidak berjalan mudah. Ekspor yang turun, harga barang yang naik, sampai ancaman PHK bikin masyarakat was-was.
Pemerintah sih optimistis bisa ngejar pertumbuhan ekonomi sampai 5%. Tapi kalau perang dagang terus berlanjut, kebijakan dalam negeri tidak jelas, dan korupsi merajalela, target itu cuma menjadi mimpi.
Lalu apa yang harus dilakukan menyikapi kondisi ini? Tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah, rajin meng-update info ekonomi, dan sebaiknya belajar soal investasi biar mengerti bagaimana uang bergerak.
Sebab semua kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomi global pada akhirnya berimbas juga ke rakyat. (Edhi Pranasidhi)