BRIEF.ID – Gambaran tentang dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembangunan, pengelolaan sumber daya, hingga proyek infrastruktur besar, memperkuat persepsi bahwa perusahaan pelat merah adalah pilar utama ekonomi nasional selama ini. Namun, laporan terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) membantah asumsi tersebut.
Studi yang mengupas kontribusi BUMN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara mendalam ini menyimpulkan bahwa peran BUMN sebenarnya tidak sebesar yang selama ini dibayangkan publik.
Data yang dikumpulkan LPEM menunjukkan bahwa sepanjang periode 2015 hingga 2022, kontribusi BUMN terhadap PDB nominal Indonesia hanya berkisar antara 6% hingga 8% per tahun. Bahkan di tahun 2022, yang merupakan puncak kontribusi tertinggi dalam satu dekade terakhir, angkanya hanya mencapai 6,1%—masih jauh dari dominasi.
Penurunan peran ini terlihat jelas jika ditarik ke belakang. Pada tahun 2012, kontribusi BUMN sempat menyentuh 7,9%, tetapi kemudian terus menurun hingga mencapai rata-rata hanya 5,2% selama periode 2016–2022. Ini menunjukkan bahwa dominasi BUMN dalam aktivitas ekonomi nasional semakin terbatas, meski tetap memiliki peran strategis di sektor-sektor tertentu.
Fakta lain yang menarik adalah bahwa kontribusi BUMN yang terbatas ini sebagian besar berasal dari segelintir perusahaan saja. Laporan LPEM mencatat bahwa pada tahun 2022, 10 BUMN terbesar menguasai 85% dari total aset. Sementara itu, 51 BUMN lainnya hanya menyumbang 15% dan sebagian di antaranya bahkan dalam kondisi finansial yang lemah.
Hal ini mengindikasikan konsentrasi kekuatan ekonomi yang sangat besar di tangan segelintir BUMN, dengan mayoritas lainnya berperan kecil dalam keseluruhan lanskap ekonomi nasional.
Selama periode 2017–2022, kinerja BUMN sangat bervariasi antar sektor. Ada yang mencatat kontraksi, ada yang stagnan, dan ada pula yang menunjukkan pemulihan. Namun secara umum, kontribusi BUMN terhadap pertumbuhan PDB—baik nominal maupun riil—masih berada di kisaran 0,5% hingga 1% per tahun.
Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa secara rata-rata, produktivitas BUMN masih tertinggal dibandingkan perusahaan swasta sejenis, sebagaimana juga ditekankan dalam laporan LPEM FEB UI.
Sepanjang 2010 hingga 2022, sektor swasta secara konsisten menyumbang sekitar 90% dari total nilai tambah PDB Indonesia. Kontribusi tertinggi dicatat pada 2015 dengan angka mencapai 91,6%, sebelum sedikit menurun menjadi 90% pada 2022. Penurunan ini kemungkinan besar disebabkan oleh ekspansi sementara dari BUMN, termasuk proyek investasi besar dan stimulus pemerintah pasca pandemi.
Namun, secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa peran dominan dalam menggerakkan perekonomian Indonesia terletak pada sektor swasta—bukan pada BUMN seperti yang sering diyakini masyarakat.
“Apakah ini sinyal bahwa BUMN mulai memainkan peran lebih besar? Mungkin. Tapi bisa juga ini hanya cerminan dari penyesuaian sementara: efek stimulus pemerintah, lonjakan proyek-proyek investasi BUMN, atau perubahan permintaan jangka pendek di sektor tertentu,” kutip laporan tersebut.
Jumlah BUMN Menyusut, Efisiensi Belum Tentu Meningkat
Jika ditelusuri lebih lanjut, jumlah BUMN juga mengalami penurunan drastis. Dari 117 BUMN pada 2012, jumlahnya menyusut menjadi sekitar 60 BUMN pada 2022. Penurunan ini banyak disebabkan oleh konsolidasi dalam bentuk holding atau transformasi menjadi lembaga non-komersial di bawah pemerintah.
Namun, penyusutan jumlah ini belum tentu sejalan dengan peningkatan efisiensi atau kontribusi ekonomi. Data LPEM mencatat bahwa sektor-sektor yang menjadi penyumbang utama nilai tambah BUMN masih sangat terbatas.
Pada 2022, hanya tiga sektor yaitu pertambangan dan penggalian, jasa keuangan dan asuransi, serta penyediaan listrik dan gas yang menyumbang sekitar 71% dari total kontribusi BUMN terhadap PDB, atau setara 4,3% dari PDB nominal. Sementara itu, seluruh sektor BUMN lainnya jika digabung hanya berkontribusi sekitar 1,8%, mencerminkan ketimpangan yang signifikan dalam produktivitas dan performa antar sektor.
Perlu dicatat bahwa ketiga sektor utama BUMN yang berkontribusi besar tersebut, yakni pertambangan, keuangan, dan energi, merupakan sektor-sektor yang umumnya mendapat dukungan negara, mandat sosial, atau stimulus fiskal. Artinya, kinerja mereka tidak sepenuhnya mencerminkan daya saing atau profitabilitas yang murni, melainkan juga bergantung pada intervensi dan kebijakan pemerintah.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, nilai tambah yang dihasilkan BUMN sempat merosot tajam, mengikuti pola penurunan PDB sektoral. Pemulihan baru terlihat pada 2022, namun sebagian besar didorong oleh efek basis rendah, dan kurang mencerminkan pertumbuhan riil yang mengindikasikan perbaikan fundamental. (ano)