Kesepakatan Perdagangan AS-Tiongkok Bukan Solusi Struktural?

BRIEF.ID – Kesepakatan perdagangan sementara antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok meredam ketidakpastian, dan menjadi kabar positif bagi pasar global.

Investor merespons positif kesepakatan perdagangan tarif AS-Tiongkok selama 90 hari, di mana AS menurunkan tarif dari 145% menjadi 30%, sedangkan Tiongkok memangkas bea masuk dari 125% menjadi 10%.

Hal itu, terlihat dari kenaikan harga saham di bursa Amerika Serikat (AS) atau Wall Street hingga bursa saham Asia, penguatan mata uang dunia termasuk dolar AS, dan lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS atau US Treasury.

Dow Jones naik 1.160 poin (+2,8%), S&P 500 menguat (+3,3%), dan Nasdaq melonjak (+4,4%). Dolar As menguat tajam, ditandai dengan kenaikan indeks dolar AS sebesar 1,17%, menjauh dari posisi terendah 3 tahun. Begitu juga yield US Treasury tenor 10 tahun naik hampir 10 basis poin (bps), karena harga obligasi AS turun, mengikuti sentimen risk-on.

Penguatan pasar keuangan global mencerminkan kelegaan investor terhadap risiko perang dagang. Indeks saham global MSCI naik 2%, kembali ke level akhir Maret, meskipun sebelumnya sempat anjlok akibat pemberlakuan kebijakan tarif AS, pada 2 April 2025.

Goldman Sachs juga menaikkan proyeksi petumbuhan ekonomi AS untuk kuartal IV 2025 menjadi 1% dari yang sebelumnya diharapkan sebesar 0,5%, dan sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan menjadi 35%.

Analis MACQUARIE menilai kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok bukan solusi struktural. Saat ini, kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok menurunkan eskalasi tensi dagang ke level yang lebih masuk akal, sehingga dampak negatif dari trade war kemungkinan akan menjadi lebih terkendali dan terukur.

Sejatinya, kepercayaan pasar terhadap Trump dan stabilitas kebijakan ekonomi masih rapuh, karena kesepakatan tarif menjadi katalis positif jangka pendek.

Dengan demikian, risiko resesi, dan perlambatan ekonomi AS tetap membayangi, terutama kesepakatan perdagangan hanya merupakan langkah statis yang disepakati bersama, bukan perdamaian jangka panjang.

Meski tarif diturunkan dan pasar bereaksi positif, sebagian besar tarif yang diberlakukan di periode pertama Presiedn Donald Trump, termasuk tarif fentanyl 20% dari AS dan balasan 4% dari China, tetap berlaku.

Dengan kesepakatan tersebut, analis Kiwoom Research menilai AS belum mengubah niatnya untuk membendung kebangkitan Tiongkok secara ekonomi, politik, dan militer.

Mereka juga meragukan keberlanjutan hubungan ini, menyebut kepercayaan terhadap AS sebagai mitra kredibel belum pulih, dan negara-negara kemungkinan terus mendiversifikasi risiko dari ketergantungan pada AS.

Apalagi kesepakatan saat ini belum tentu mendapat dukungan penuh dari basis politik Prsiden Trump, berkaca pada sejarah trade-war ver.1.0 tahun 2018-2019 jeda waktu 90 hari kala itu berlalu tanpa hasil konkret. (jea)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Rayakan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, GPIB Awali Ibadah Hari Minggu dengan Upacara

BRIEF.ID - HUT ke-80 Kemerdekaan RI tahun ini, dimaknai...

Perkuat Ketahanan Pangan, BSI Maslahat Gelar Program Pesantren Sehat di Dua Daerah

BRIEF.ID — BSI Maslahat terus menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan...

Rupiah Melemah Tipis di Awal Pekan, Investor Wait And See Arah Kebijakan Moneter AS

BRIEF.ID - Nilai tukar (kurs) rupiah melemah tipis pada...

Harga Emas Antam Hari Ini Lanjutkan Tren Penurunan Jadi Rp1.894.000 per Gram

BRIEF.ID - Harga emas batangan PT Aneka Tambang (Persero)...