BRIEF.ID – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, melaporkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 tercatat sebesar 2,29% atau mencapai Rp507,8 triliun dari target awal Rp522,8 triliun.
Menurut dia, defisit APBN 2024 tersebut, antara lain disebabkan kinerja penerimaan pajak, hingga bea dan cukai, mengalami tekanan cukup berat, khususnya di semester I 2024.
“Realisasi sementara APBN 2024 dengan defisit sebesar 2,29% dari PDB (produk domestik bruto), sesuai dengan target APBN 2024, yang didesain dan ditetapkan oleh DPR bersama pemerintah,” kata Sri Mulyani, dalam konferensi pers APBN Kita, di Jakarta, Senin (6/1/2025).
Dia mengungkapkan, pendapatan negara secara umum menunjukkan kinerja positif, dengan realisasi sebesar Rp2.842,5 triliun atau tumbuh 2,1% secara tahunan atau year-on-year (yoy). Nilai itu lebih tinggi dari target APBN 2024 sebesar Rp2.802,3 triliun.
Meski demikian, lanjut Menkeu, dari sisi penerimaan pajak, realisasi sementara tercatat berada di bawah target, yakni sebesar Rp1.932,4 triliun dari sasaran Rp1.988,9 triliun.
“Meski penerimaan pajak mengalami tekanan, kita bisa pulihkan kembali. Tidak mencapai target awal, tapi lebih baik dari laporan semester kita yang diprediksi sebesar Rp1.021,9 triliun,” ujar Menkeu.
Dia mengungkapkan, di tengah tekanan sepanjang semester I akibat pengaruh kenaikan harga komoditas, penerimaan pajak di tahun 2024 masih tumbuh sebesar 3,55% dari realisasi 2023.
Menkeu menyampaikan, kinerja bea dan cukai juga menunjukkan tren menurun seperti yang terjadi pada penerimaan pajak. Realisasi sementara penerimaan bea dan cukai tercatat di bawah target, yakni sebesar Rp300,2 triliun dari target Rp321 triliun.
“Meski mengalami tekanan, penerimaan bea dan cukai tumbuh lebih tinggi dari tahun lalu, yakni sebesar 4,9%,” ujar Sri Mulyani.
Di sisi lain, realisasi sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) jauh melampaui target yang ditetapkan. APBN 2024 menargetkan serapan PNBP sebesar Rp492 triliun, sedangkan realisasi sementara tercatat sebesar Rp579,5 triliun.
“Tiga pendapatan negara kita dalam situasi yang begitu rentan, tidak pasti, tekanan bertubi-tubi, masih tetap terjaga. Realisasi masih tumbuh dibandingkan kinerja tahun 2023 yang mengalami commodity boom (lonjakan harga komoditas). Ini patut kita syukuri dan akan kita jaga terus,” tutur Sri Mulyani.
Di sisi lain, realisasi sementara belanja negara tercatat tumbuh sebesar 7,3 persen yoy, dengan nilai sebesar Rp3.350,3 triliun. Angka ini lebih tinggi dari target APBN 2024 sebesar Rp3.325,1 triliun, namun lebih rendah dari proyeksi Rp3.412,2 triliun.
Belanja pemerintah pusat (BPP) mengalami kenaikan hampir Rp20 triliun, dari target Rp2.467,5 triliun menjadi Rp2.486,7 triliun. Dengan demikian, ada pergeseran sekitar Rp200 triliun pada komponen belanja kementerian/lembaga (K/L) dan non-K/L pada APBN 2024.
Belanja K/L mulanya ditargetkan sebesar Rp1.090,8 triliun, namun terealisasi sebesar Rp1.315,0 triliun. Sedangkan belanja non-K/L, yang semula ditargetkan sebesar Rp1.376,7 triliun, realisasinya turun menjadi Rp1.171,7 triliun.
“Sedangkan transfer ke daerah (TKD) terealisasi sebesar Rp863,5 triliun, lebih tinggi dari yang ditargetkan sebesar Rp857,6 triliun,” ungkap Sri Mulyani.
Dia menambahkan, realisasi sementara keseimbangan primer juga berhasil ditekan dari proyeksi pada laporan semester I 2024. Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
Adapun keseimbangan primer sebelumnya dalam laporan semester I 2024 diprediksi mencapai angka Rp110,8 triliun, namun realisasi tercatat sebesar Rp19,4 triliun, tak jauh berbeda dari target APBN 2024 Rp25,5 triliun.
“Jadi realisasi sementara pembiayaan anggaran mencapai Rp553 triliun, dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) sebesar Rp45,4 triliun,” kata Sri Mulyani.