“Abrasi” Makna Idul Fitri

BRIEF.ID – Setiap kali Ramadan berlalu, Syawal datang membawa euforia kemenangan. Idul Fitri dirayakan dengan penuh sukacita, simbol kembalinya manusia ke fitrah yang suci. Momen ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga saat untuk saling memaafkan dan mempererat silaturahmi, khususnya dengan keluarga dan kerabat.

Namun, sudahkah kita benar-benar meraih hakikat Idul Fitri, Ataukah kita hanya terjebak dalam ritual tahunan tanpa makna mendalam?

Makna Idul Fitri

Secara harfiah, Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Ar-Ruum: 30).

Para ulama menafsirkan ayat ini sebagai seruan agar manusia kembali pada aturan agama. Fitrah manusia adalah kecenderungan untuk berpegang pada ajaran tauhid. Oleh karena itu, Idul Fitri bukan sekadar perayaan, melainkan momen refleksi sejauh mana kita telah menjaga kesucian hati dan iman yang diperoleh selama Ramadan.

Ironisnya, makna Idul Fitri kerap mengalami pergeseran seiring waktu. Beberapa fenomena yang mencerminkan penyimpangan dari makna sejatinya antara lain:

Pertama, merasa merdeka setelah Ramadan berakhir. Banyak yang melihat Ramadan sebagai “penjara” yang mengekang kebebasan. Begitu Syawal tiba, mereka seakan terbebas dari belenggu, merayakannya dengan pesta pora tanpa kendali. Fenomena ini telah diingatkan dalam Al-Qur’an:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah).” (QS. Al-A’raf: 179).

Orang yang terjebak dalam siklus ini tidak benar-benar memahami esensi Ramadan sebagai bulan pendidikan spiritual.

Kedua, mengklaim kemenangan tanpa perjuangan. Sebagian orang mengklaim kemenangan Idul Fitri padahal selama Ramadan tidak melakukan perjuangan berarti, baik dalam ibadah personal maupun sosial. Mereka bahkan tetap menjalankan kebiasaan buruk, lalu tiba-tiba merayakan kemenangan dengan gegap gempita. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

“Di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 8).

Kemenangan sejati hanya bagi mereka yang benar-benar berjuang melawan hawa nafsu selama Ramadan.

Ketiga, kesucian yang hanya tampak luar. Idul Fitri sering diidentikkan dengan pakaian baru, makanan melimpah, dan perayaan besar. Namun, bagaimana dengan pakaian batin kita? Allah berfirman:

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26).

Kesucian yang sejati bukan sekadar penampilan fisik, tetapi hati yang bersih dari kesombongan, iri, dan dengki.

Keempat, silaturahmi yang hanya formalitas. Silaturahmi dan saling memaafkan menjadi tradisi Idul Fitri. Namun, apakah maaf yang kita ucapkan benar-benar tulus? Ataukah hanya sebatas formalitas di media sosial? Rasulullah SAW telah memperingatkan tanda-tanda orang munafik:

“Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Silaturahmi yang hakiki adalah yang benar-benar membersihkan hati dari dendam dan prasangka buruk.

Peraih Idul Fitri Hakiki

Lantas, bagaimana cara meraih hakikat Idul Fitri yang sebenarnya? Setidaknya ada empat aspek yang harus kita menangkan:

Pertama, Aspek Spiritual. Menjadikan Idul Fitri sebagai titik awal peningkatan ibadah dan penghambaan kepada Allah.

Kedua, Aspek Emosional. Memiliki kesabaran, berbaik sangka, dan tidak mudah terpancing emosi.

Ketiga, Aspek Sosial. Mengamalkan kepedulian, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam empati dan sikap terhadap sesama.

Keempat, Aspek Intelektual. Menjadikan Idul Fitri sebagai momentum memahami nilai-nilai agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Idul Fitri bukan sekadar perayaan, tetapi cermin kebersihan hati. Apakah kita benar-benar kembali kepada fitrah atau sekadar mengikuti tradisi?

Ramadan datang untuk membentuk manusia bertakwa, dan Idul Fitri menjadi momentum evaluasi sejauh mana proses itu berhasil. Sayangnya, bagi sebagian orang, Ramadan hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa bekas. Jika demikian, bagaimana kita bisa berharap benar-benar kembali ke fitrah?

Kita bisa menipu manusia dengan kata-kata dan tampilan, tetapi tidak dengan Allah. Hanya mereka yang mampu menjaga nilai-nilai Ramadan yang benar-benar meraih Idul Fitri yang hakiki. Semoga kita termasuk dalam golongan yang kembali suci, bukan hanya sekadar ikut merayakan. Selamat Idul Fitri, semoga kemenangan ini bukan sekadar seremonial, tetapi kemenangan sejati yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Semoga.

Andriandi Daulay (Analis Kepegawaian Madya Kanwil Kemenag Provinsi Riau)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Idul Fitri 1446 Hijriah dan Halal Bihalal di KBRI Bucharest

BRIEF.ID - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bucharest, Rumania...

Idul Fitri 1446 Hijriah, Rosan: Jaga Semangat Kebaikan

BRIEF.ID - Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman...

Khotbah Idul Fitri 1446 H, Puasa Mabrur Membawa Indonesia Maju dan Sejahtera

BRIEF.ID - Guru Besar UIN Jakarta Prof Ahmad Tholabi...

Tradisi Merayakan Lebaran di Berbagai Negara

BRIEF.ID – Hari Raya Idul Fitri dirayakan  umat Muslim...