Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, Pilih Profesi Wartawan Setelah Gagal Jadi Dokter

May 2, 2024

BRIEF.ID – Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, sangat lekat dengan sosok Ki Hadjar Dewantara. Pasalnya, tanggal 2 Mei merupakan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara yang juga Bapak Pendidikan Nasional.

Meskipun tidak ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional, setiap instansi pemerintah hingga lembaga pendidikan selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tahun ini merupakan peringatan Hari Pendidikan Nasional ke-63.

Sebagai apresiasi atas kiprahnya, mari mengenal sosok Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dirangkum BRIEF dari berbagai sumber, Kamis (2/5/2024), sebagai berikut:

  1. Keturunan Bangsawan

Ki Hadjar Dewantara lahir dari keturunan bangsawan Kadipaten Pakualam dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, pada 2 Mei 1889. Dia merupakan putra dari G.P.H. Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III.

Latar belakangnya sebagai keturunan bangsawan membuat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan di masa pemerintahan Hindia Belanda.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School. Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal dari Eropa.

Dia sempat melanjukan pendidikan kedokteran di STOVIA, tetapi tidak diselesaikan dikarenakan kondisi kesehatannya yang buruk.

  1. Profesi Wartawan

Gagal meneruskan pendidikan di STOVIA, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat memilih bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar. Dia pernah bekerja untuk surat kabar Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.

Profesinya sebagai wartawan inilah yang kemudian membuat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat memilih nama Ki Hadjar Dewantara dalam karya-karya tulisannya.

Selama menjadi wartawan, KI Hadjar Dewantara dikenal sebagai penulis yang kritis dan andal. Gaya tulisannya bersifat komunikatif dengan gagasan-gagasan yang antikolonial.

Beberapa tulisannya juga mengkritik pemerintah Hindia Belanda terkait kebijakan pendidikan yang hanya bisa dinikmati kalangan bangsawan.

Ketika pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada 1913, timbul reaksi kritis dari Ki Hadjar Dewantara.

Dia menulis artikel pada kolom KHD di Surat Kabar De Expres pada 13 Juli 1913, yang dipimpin sahabatnya, Douwes Dekker, dengan judul “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”).

Artikel itu memuat kritikan pedas kepada pemerintah Hindia Belanda yang memungut sumbangan dari warga Indonesia yang dijajah untuk perayaan kemerdekaan Belanda.

Hal inilah yang kemudian membuat Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka, namum kemudian diasingkan ke Belanda bersama dengan dua sahabatnya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Saat itu, Ki Hadjar Dewantara berusia 24 tahun.

  1. Mendirikan Taman Siswa

Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat kembali dari pengasingan di Belanda ke Indonesia pada bulan September 1919. Dia kemudian bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.

Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang akan didirikannya, sebagaimana dicita-citakan ketika dia berada dalam pengasingan di belanda.

Pada 3 Juli 1922, dia akhirnya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat resmi namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 1923.

Dengan penggantian nama tersebut, dia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya Ki Hadjar Dewantara dapat bebas dekat dengan rakyat, dan mengembangkan sekolah yang didirikannya khusus untuk pribumi.

Ki Hadjar Dewantara menggunakan 3 semboyan yang diambil dari bahasa Jawa untuk sistem pendidikannya, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.

Semboyan ini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia, bahkan menjadi kutipan yang sering digunakan berbagai tokoh untuk memotivasi.

  1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pertama

Pada 17 Agustus 1946 ditetapkan sebagai Maha Guru pada Sekolah Polisi Republik Indonesia bagian Tinggi di Mertoyudan Magelang, oleh P.J.M. Presiden Republik Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama, pada tahun 1950. Pada tanggal 19 Desember 1956, dia juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada.

  1. Wafat Jelang Usia 70 Tahun

Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 26 April 1959, hanya beberapa hari sebelum usianya genap 70 tahun.

Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar Dewantara. Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata, pada 29 April 1959. Upacara pemakaman Ki Hadjar Dewantara dipimpin Soeharto, yang bertindak sebagai inspektur upacara.

Atas jasa-jasanya terhadap pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ketetapan hari tersebut disahkan dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959 bersamaan dengan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1961 tentang Perubahan Hari Pendidikan Nasional, tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara, yaitu 2 Mei, kemudian ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. (Jeany Aipassa)

No Comments

    Leave a Reply