Lapangan Banteng, Kawasan Sarat Sejarah

June 15, 2024

BRIEF.ID – Lapangan Banteng di Jakarta Pusat menyimpan jejak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Telah ada sejak zaman kolonial Belanda, Lapangan Banteng terus bertransformasi menjadi ruang terbuka hijau yang memanjakan pengunjung dengan kerindangan pepohonan dan segala fasilitas pendukungnya.

Di perpustakaan mini yang berada di salah satu sudut Lapangan Banteng, Rabu (12/6/2024), Indra (54) berdiri sembari memilah buku yang menarik minatnya. Pilihan warga Depok, Jawa Barat, itu jatuh pada sebuah buku berisi kumpulan cerpen. Ditemani angin sepoi-sepoi dan di bawah rindangnya pepohonan, Indra kian tenggelam dengan imajinasi buku yang dibacanya itu.

”Suasana di sini sangat tenang dan teduh. Asyik buat membaca,” kata Indra, dikutip dari laman Kompas.id, Sabtu (15/6/2024).

Bagi Indra, kawasan seluas 5,2 hektar ini bagaikan oase di tengah hiruk-pikuk keramaian kota Jakarta. ”Mungkin hanya di sinilah taman kota yang terbilang lengkap, ada tempat membaca, hiburan, dan olahraga,” ucapnya.

Dalam ingatannya, sebelum menjadi taman kota, Lapangan Banteng adalah terminal yang terbilang padat dengan semrawutnya lalu-lalang kendaraan umum. Lapangan itu pun dulu tampak kumuh.

Indra tidak menyangka Lapangan Banteng kini bertransformasi menjadi taman kota yang asri. Beragam pohon peneduh, di antaranya mahoni (Swietenia mahagoni), angsana (Pterocarpus indicus), dan asem (Tamarindus indica), tumbuh subur di sana. Tak heran banyak orang yang berolahraga atau menjalankan aktivitas publik di taman yang rindang itu. Di akhir pekan, misalnya, Indra sering melihat warga membaca, menari, dan berolahraga di sana.

Pesona Lapangan Banteng yang rindang juga serasa menyihir Rizka Amalia (17) dan sembilan temannya yang baru pertama kali menjejakkan kaki di sana. Di bawah teduhnya mahoni, tak terasa mereka hampir dua jam berdiskusi di sana. Lokasi Lapangan Banteng yang dekat dengan Masjid Istiqlal juga memudahkan mereka menunaikan ibadah meski di sela-sela aktivitasnya.

”Selain adem, untuk masuk ke sini gratis,” ujar Rizka.

Ia berharap, taman untuk ruang publik seperti ini dapat diperluas. Tidak hanya di jantung kota Jakarta, keberadaan taman kota semestinya juga ada di berbagai pelosok kota.

Rizka dan teman-temannya sejatinya juga ingin melihat pertunjukan air terjun menari yang ada di Lapangan Banteng. Sayangnya, keinginannya itu pupus karena pertunjukan itu hanya digelar di akhir pekan.

”Meskipun kami tidak sempat melihat air mancur menari, yang penting sudah pernah menginjakkan kaki di sini,” katanya.

”Selain merupakan tempat bersejarah, mungkin dari Lapangan Banteng akan menjadi pemantik munculnya beragam bentuk kreativitas warga Jakarta,” katanya.

Di luar kerindangan dan beragam fasilitas yang memanjakan pengunjung, lokasi Lapangan Banteng juga mudah dijangkau menggunakan angkutan umum. Pengakuan Calista (17), pengunjung lain, mengonfirmasi hal itu. Selain tempatnya yang asri, menurut dia, aksesibilitas Lapangan Banteng juga mudah. Berbagai angkutan umum melewati kawasan itu, salah satunya bus Transjakarta.

Sarat sejarah

Walau memiliki ketertarikan pada Lapangan Banteng, Calista belum tahu banyak mengenai sejarah dari kawasan itu. Bahkan ia mengira, kawasan itu disebut Lapangan Banteng karena ada patung banteng.

”Saya cari di mana patung bantengnya, tetapi tidak ada,” katanya sembari tertawa.

Mengutip situs Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Lapangan Banteng memiliki sejarah yang panjang. Pada waktu Gubernur Jenderal Hindia Timur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang keempat dan keenam, Jan Pieterszoon Coen (JP Coen), membangun kota Batavia di dekat muara Sungai Ciliwung, di sekeliling lapangan itu masih berupa hutan belantara yang sebagian selalu tergenang air (De Haan-1935:69).

Menurut catatan resmi, pada tahun 1632 kawasan tersebut merupakan milik orang Belanda, Anthony Paviljoen Sr. Kawasan itu pun dikenal dengan sebutan Paviljoensveld atau lapangan Paviljoen Jr.

Saat itu, sebagian kawasan disewakan kepada orang-orang Tionghoa. Oleh penyewa, lahan itu ditanami tebu dan sayur-mayur. Adapun sang pemilik menyisakan sebagian lahan untuk beternak sapi.

Pemilik berikutnya adalah seorang anggota Dewan Hindia, Cornelis Chastelein. Oleh dia, kawasan itu diberi nama Weltevreden yang berarti ’sungguh memuaskan’. Setelah berganti-ganti pemilik, termasuk Justinus Vinck yang mula pertama membangun Pasar Senen, pada tahun 1767, tanah Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal Van Der Parra.

Pada awal abad ke-19 Weltevreden semakin berkembang. Di sekitarnya dibangun gedung-gedung, di samping sejumlah tangsi pasukan infanteri, juga berbagai satuan tentara lain yang tersebar sampai ke Taman Pejambon dan Taman Du Bus, di belakang kantor Kementerian Keuangan sekarang.

Pada pertengahan abad ke-19, Lapangan Banteng menjadi tempat berkumpulnya golongan elite kota Batavia. Di sana setiap Sabtu sore sampai malam diperdengarkan musik militer.

Di zaman penjajahan Belanda, Lapangan Banteng dikenal dengan Waterlooplein dan dikenal dengan nama Lapangan Singa. Hal itu karena di tengahnya terpancang tugu peringatan kemenangan perang antara Belanda atas pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte di Waterloo. Di tugu peringatan itu terdapat patung singa di atasnya.

Tugu tersebut dirobohkan pada zaman pemerintahan pendudukan tentara Jepang pada 1942. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno mengusulkan untuk mengganti namanya menjadi Lapangan Banteng.

Alasannya, singa tidak hanya mengingatkan pada lambang penjajah, tetapi juga tidak terdapat dalam dunia fauna Indonesia. Sebaliknya, banteng merupakan lambang nasionalisme Indonesia. Di samping itu, besar kemungkinan pada zaman dahulu tempat itu dihuni oleh berbagai macam satwa liar, seperti macan, kijang, dan banteng.

Di tengah lapangan dibangun Monumen Pembebasan Irian Barat setinggi 35 meter, untuk mengenang para pejuang Tri Komando Rakyat (Trikora). Monumen yang dirancang Friedrich Silaban dan Henk Ngantung ini diresmikan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1963.

Tahun 1980-an, taman ini sempat dipergunakan sebagai terminal bus untuk rute dalam dan luar kota. Pada tahun 1993, fungsi Lapangan Banteng dikembalikan lagi sebagai ruang terbuka hijau kota. Taman Lapangan Banteng ditata secara bertahap dari tahun 2004 hingga akhirnya disempurnakan pada 2007.

Revitalisasi

Revitalisasi total Lapangan Banteng dicanangkan pada 2016 di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Revitalisasi rampung dua tahun berselang dan diresmikan oleh Gubernur Anies Baswedan.

Dalam proyek yang diarsiteki Gregorius Antar atau yang dikenal dengan Yori Antar, Lapangan Banteng dibagi atas tiga zona, yakni Zona Monumen Pembebasan Irian Barat, Zona Olahraga, dan Zona Hutan Kota. Sejumlah perubahan terjadi, seperti adanya danau di bawah Monumen Pembebasan Irian Barat dan tempat duduk keliling di sekitar patung tersebut.

Di sana juga tersedia air mancur menari, lengkap dengan pertunjukan laser yang diiringi sejumlah lagu kebangsaan. Pertunjukan itu hanya bisa dinikmati pada malam hari setiap akhir pekan.

Amelia (27), pengunjung, terpukau dengan keindahan pertunjukan air mancur menari di sana. Selain mencerminkan kemajuan teknologi, pertunjukan itu juga memperkuat nilai nasionalisme dengan alunan musik kebangsaan dengan latar belakang Monumen Pembebasan Irian Barat.

Kini, kawasan Lapangan Banteng dipergunakan untuk berbagai macam kegiatan. Selain untuk berolahraga, kawasan itu dimanfaatkan untuk kegiatan pameran di luar ruang, salah satunya ajang tahunan Pameran Flora dan Fauna.

Kawasan ini pun bakal dilalui rute lomba lari LPS Monas Half Marathon pada 30 Juni 2024. Ajang yang digelar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan harian Kompas itu bakal diikuti sekitar 5.000 pelari.

Pada perhelatan tahun kedua, ajang LPS Monas Half Marathon kembali mengusung konsep point to point dari area Monumen Nasional dan berakhir di kawasan Istora Gelora Bung Karno, Senayan. Rute ini melewati tempat-tempat bersejarah di Jakarta.

Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana menyatakan, Lapangan Banteng sarat dengan nilai sejarah. Itulah sebabnya beberapa bagian kawasan itu sudah menjadi cagar budaya.

No Comments

    Leave a Reply