Melongok Prospek Ekonomi di Tengah Eskalasi Rusia-Ukraina

July 5, 2022

Jakarta – Hanya dua tahun pascapandemi Covid-19 yang telah menyebabkan depresi terbesar global setelah perang dunia kedua, ekonomi dunia kembali menghadapi ancaman.

Kali ini inflasi tinggi dan pertumbuhan yang rendah di saat bersamaan. Di tengah konflik antara Ukraina dan Rusia, inflasi tinggi, serta kenaikan tingkat suku bunga, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan merosot pada 2022.

Dalam Laporan Prospek Ekonomi Global Juni 2022, Bank Dunia menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi global diperkirakan turun tajam dari 5,9% pada 2021 menjadi 2,1% pada tahun ini.

“Ini juga merefleksikan pemangkasan sepertiga proyeksi Januari 2022 kita untuk tahun ini menjadi 4,1%,” mengutip pernyataan David Malpass, Presiden World Bank Group, dalam laporan tersebut.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi di negara berkembang diperkirakan mencapai 3,4%, hampir setengah dari angka pertumbuhan 2021.

Karena guncangan yang merugikan dalam 2 tahun terakhir, realisasi pendapatan per kapita pada 2023 diperkirakan tetap di level sebelum Covid-19 di sekitar 40% negara berkembang. Untuk banyak negara, resesi akan semakin berat.

Dengan pasokan gas alam yang terbatas, khususnya untuk pupuk dan jaringan listrik di negara yang lebih miskin, pengumuman kenaikan produksi di tataran global menjadi penting untuk lolos dari stagflasi dan memperbaiki pertumbuhan non-inflasi.

Sekarang, dengan inflasi yang tinggi di banyak negara dan pasokan yang diperkirakan melambat, ada kemungkinan inflasi akan tetap di level yang tinggi untuk waktu yang mungkin lebih lama dari perkiraan.

“Ketika kondisi keuangan global semakin ketat dan mata uang negara-negara dunia terdepresiasi, kesulitan utang menyebar ke negara-negara berpenghasilan menengah – dari sebelumnya terbatas hanya di negara-negara berpenghasilan rendah.”

Sebelumnya, pengamat pasar modal Edhi Pranasidhi mengatakan bahwa kekhawatiran terhadap resesi ekonomi semakin berkembang setelah hampir semua bank sentral Eropa menaikkan suku bunga dan borrowing yield menyusul kenaikan suku bunga FFR. Kondisi kenaikan suku bunga tersebut dilakukan untuk menahan laju inflasi.

“Dari kondisi di atas, muncul pertanyaan apakah kenaikan suku bunga di hampir semua negara itu akan mampu menahan laju inflasi, sedangkan salah satu sumber dari inflasi itu adalah perang Rusia-Ukraina dan rantai supply yang terganggu pasca Covid-19 mereda,” ujarnya.

Edhi menilai, spillover effect pastinya telah merambat ke Indonesia dan negara berkembang lainnya. Namun, tambahnya, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh dari resesi ekonomi.

Dia mengingatkan bahwa Indonesia pernah melewati sejumlah krisis ekonomi mulai dari krisis ekonomi global 1997-1998, krisis dotcom bubble tahun 2022, krisis global yang dipicu oleh subprime mortgage 2008, serta krisis mini 2012.

Seluruh krisis tersebut akhirnya dapat berhasil dilewati oleh Indonesia dengan baik. Oleh karena itu, Edhi menilai bahwa tetap ada peluang di balik kondisi yang sedang terjadi. Ekonomi Indonesia yang tumbuh 5,01% pada kuartal pertama tahun ini masih bertengger sebagai salah satu dari 15 negara dengan PDB tertinggi di dunia.

Selain itu, rata-rata laporan keuangan pada semester pertama 2022 menunjukkan pergerakan yang positif. Misalnya, perusahaan yang terkorelasi dengan komoditas masih bisa berpotensi tumbuh lebih dari 60% secara rata-rata. Kemudian, banking 20%, properti 27%, dan konsumer 11%.

IHSG sepanjang tahun ini juga masih tumbuh 5% atau masih lebih baik dibandingkan bursa saham utama di dunia. Menurut dia, kekhawatiran terhadap potensi terjadinya krisis kembali sebetulnya dapat menjadi kesempatan untuk menambah tabungan saham secara bertahap.

“Gunakan kesempatan kepanikan investor yang kurang paham terhadap kondisi Indonesia untuk menabung saham secara bertahap. Mudah-mudahan pada November [2022], semua membaik dan panen cuan bisa terlaksana.” (ANO)

No Comments

    Leave a Reply