Ekonom: Indonesia Masih Relatif Jauh dari Resesi

July 18, 2022

JAKARTA – Di tengah proyeksi krisis ekonomi dan resesi global yang diakibatkan oleh gelombang inflasi pasca pandemi dan tensi politik global, Indonesia diperkirakan masih relatif jauh dari resesi.

Sejumlah indikator di dalam negeri dinilai relatif cukup aman menahan angin resesi yang dipicu oleh sejumlah sentimen negatif dari sejumlah kondisi di luar Indonesia. Investor didorong untuk mampu mengendalikan “kepanikan” dan “kerakusan”.

Hal itu mengemuka dalam webinar Investment Talk Series dengan tema “Potensi Market Semester 2-2022” yang diselenggarakan oleh D Origin Advisory bekerjasama dengan IGICO Advisory, Minggu (17/7).

Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, probabilitas Indonesia terkena resesi global adalah sebesar 5 persen. Sebagai gambaran, bersumber dari data Bloomberg, probabilitas Amerika Serikat terkena resesi adalah 40 persen. “Artinya, Indonesia masih jauh dari resesi. [Untuk Indonesia] saya lihat ini volatility, alih-alih tsunami,” ujar Budi saat memberikan pemaparan.

Kendati Indonesia dikatakan masih jauh dari krisis gobal, Budi berkelakar bahwa Indonesia sesungguhnya menghadapi ancaman krisis yang lebih pasti, yakni “growing old before growing rich” atau “menua sebelum kaya”.

Budi menyebutkan bahwa demografi penduduk Indonesia akan mulai menua pada 2030. Hal itu akan menjadi risiko apabila masyarakat belum menyiapkan investasi sedari sekarang. “Makanya kita persiapkan investasi dari sekarang.”

Dia mengakui, selama berpuluh tahun mengamati kondisi ekonomi, ada sejumlah hal yang membedakan antara krisis 1998, krisis 2008, 2013, dan krisis 2020 serta krisis kali ini yang dipicu oleh situasi pandemi.

Pada krisis yang disebabkan oleh pandemi, berbagai negara melakukan pagelaran stimulus luar biasa. Dia mencontohkan bank sentral yang menciptakan likuiditas luar biasa sehingga suku bunga rendah. Kemudian ada fenomena kenaikan aset kripto.

Namun, globalisasi telah menyebabkan proses penemuan vaksin berlangsung sangat cepat, yakni hanya 9 bulan – tercepat dalam sejarah. Hal ini menyebabkan ketimpangan stimulus di tengah pandemi, juga dinamika lainnya termasuk pembukaan kembali mobilitas.

Pandemi juga telah menyebabkan pembatasan pergerakan orang serta hilangnya banyak nyawa, sehingga ada kelangkaan tenaga kerja dan modal. Ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga. Namun, di saat yang sama, ada ancaman inflasi tinggi pasca pandemi. “Di AS, persoalan ini lebih kompleks lagi,” katanya.

Baik di Indonesia dan di dunia, kita perlu mewaspadai inflasi tinggi yang diperkirakan akan berlangsung cukup lama. Adapun, lanjutnya, Indonesia sebetulnya memiliki posisi yang cukup diuntungkan. Pasalnya, inflasi saat ini dipicu oleh pergerakan komoditas.

“Komoditas itu ada dua jenis. Ada cost commodity seperti minyak. Ada income commodity yang menghasilkan valas, seperti coal, nikel, karet, CPO, dan gas. Sejauh ini, kita masih beruntung karena income commodity kita tumbuh lebih pesat ketimbang cost commodity.”

Meskipun saat ini dunia menghadapi tantangan yang menggoyang ekonomi, Budi memberikan kerangka kepada para pelaku pasar untuk mengukur kepanikan – khususnya dalam pembentukan strategi investasi.

Pertama, dinamika global, baik dari segi ekonomi maupun geopolitik. Kedua, opsi kebijakan domestik serta responnya. Ketiga, pengambilan posisi oleh investor asing. Sebagaimana kejadian pada krisis 2008 dan 2020, apakah para investor asing tersebut dalam keadaan panik sehingga harus menjual portofolionya di Indonesia? “Nah, ini perlu kita evaluasi. Acuan untuk cuan, lebih baik mengendalikan kerakusan, cukup rajin ambil untung, built in, dan cegah cut loss.”

Lebih lanjut, Budi menilai pasar modal Indonesia memasuki musim semi. Artinya ada peluang untuk bergerak membaik dan memberikan cuan. Secara historikal, Budi menyebutkan bahwa semester kedua biasanya market memang mengalami volatilitas. Selama 15 tahun terakhir, ujarnya, ada kecenderungan pola huruf V pada triwulan ketiga tahun berjalan, serta kecenderungan pasar memerah pada November, kemudian berbalik menjadi hijau pada Desember. “Apakah tetap tesis ini? Saya sendiri menguji diri dengan investasi saya.”

Dalam kesempatan yang sama, Ade Permana, professional independent, trader dan investor, setuju bahwa Indonesia dikatakan masih relatif jauh dari resesi. Menurut dia, hal itu pun tergambar di performa pasar modal.

Dia menyebutkan bahwa sejak harga tertinggi pada 11 April hingga saat ini, IHSG mengalami koreksi sekitar 10%. Di saat yang sama, indeks Dow Jones yang menunjukkan kinerja pasar modal AS mengalami penurunan lebih dari 19% atau hampir 20%. “Artinya dari segi ekonomi, dari segi indeks saham, kita [Indonesia] termasuk yang paling bagus di dunia untuk saat ini. Bahkan di regional pun Indonesia masih perkasa,” ujarnya.

Kendati demikian, ujarnya, Dow Jones perlu terus dipantau karena Amerika menjadi salah satu barometer pelaku pasar dalam negeri. Terlebih, sebanyak 60% – 70% investor di pasar modal Indonesia merupakan investor asing.

Indeks selanjutnya yang juga terus dipantau adalah DXY atau indeks dolar serta XAU atau indeks emas. “Kenapa? Karena banyak juga emiten-emiten kita yang listing di bursa efek itu sensitif terhadap pergerakan salah satunya XAU, DXY sama Dow Jones Industrial,” tutur Ade.

Fase Sideways

Alex Sukandar, Direktur PT Kurikulum Saham Indonesia, menyebutkan bahwa pasar saat ini sedang memasuki fase sideways yang cukup besar, seolah-oleh membentuk triangle besar. Oleh karena itu, lanjutnya, harga terlihat sangat volatile.

Dari sisi performa, lanjutnya, sejumlah sektor masih terbilang unggul. Di antaranya IDXEnergy (sektor energi), IDXTransportation (sektor transportasi dan logistik), IDXIndustry (sektor industri), IDXHealth (sektor perawatan kesehatan), dan IDXNoncyc (sektor konsumer non-cyclicals).

Sementara itu, index composite yang sempat bertumbuh, malah menjadi minus. Pelemahan indeks terutama tertekan oleh penurunan IDXProperty, IDXTechno, dan IDXFinance. Kendati demikian, Alex menilai investor mewaspadai prospek tiap-tiap sektor di masa mendatang.

“Kita lihat sektor IDXEnergy memang outperformed sekali, 41% jauh lebih unggul ketimbang composite itu sendiri. Namun, ada tanda-tanda breakaway gap yang kemungkinan besar adalah penanda terbentuknya tren baru. Begitu juga di IDXTransportation. Nah itu yang perlu diwaspadai,” katanya.

Ke depan, lanjutnya, beberapa sektor berpeluang mengalami kenaikan performa meskipun terbatas. Di antaranya IDXHealth, IDXNoncyc, IDXBasic (sektor basic material).  Lebih lanjut, Alex menyoroti sektor syariah yang akan menopang pasar di saat terjadi koreksi. “Jadi memang kalau ketika market terkoreksi, biasanya indeks-indeks saham syariah itu yang survive.”

No Comments

    Leave a Reply