AJI Jakarta: Upah Layak Jurnalis Rp8,7 Juta

January 28, 2020

Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyatakan besaran upah layak bagi jurnalis pada 2020 sebesar Rp8.793.081. 

Upah layak 2020 tersebut berdasarkan hasil survei upah jurnalis 2019 yang dilakukan oleh AJI Jakarta pada November lalu. Survei tersebut diikuti oleh 144 jurnalis dari 37 media.

“Angka tersebut mempertimbangkan beberapa komponen hidup layak yang diatur dalam penentuan UMP pemerintah dan kebutuhan tambahan lain  jurnalis seperti makan, pakaian, rumah, perangkat elektronik, kebutuhan lain, dan tabungan,” ujar Sekretaris AJI Jakarta Afwan Purwanto, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/1/2020). 

Seperti diketahui, Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan Upah Minimum Provinsi tahun 2020 sebesar Rp 4.267.349,- dari yang sebelumnya senilai Rp 3.940.973,-. AJI Jakarta menilai komponen yang digunakan untuk menentukan UMP yang digunakan oleh pemerintah tersebut tentu tak sesuai dengan kebutuhan jurnalis yang memerlukan beragam sarana penunjang tambahan.

Dalam survei tersebut, AJI Jakarta menemukan ada 28  jurnalis yang mendapatkan upah di bawah atau sama dengan Rp4.000.000,- dari berbagai jenis media: TV dan online. Nantinya dengan survei ini, AJI Jakarta akan melakukan pendekatan persuasif, khususnya kepada para pemilik media yang belum memberikan upah sesuai UMP DKI Jakarta.

Upah yang belum memenuhi standar ini, menurut AJI Jakarta, tentu akan menjadi petaka jika pemerintah mengesahkan RUU Omnibus Law atau RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) yang bisa mempengaruhi lebih dari 79 undang-undang, termasuk UU Pers dan UU Ketenagakerjaan.

Ahmad Fathanah, Pengacara LBH Pers, menyampaikan bahwa jurnalis yang masih mendapatkan upah di bawah UMP bisa mengajukan gugatan pidana ke polisi. Selain itu, Ahmad juga menjelaskan bahwa jurnalis memiliki hak atas cuti seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan yakni cuti haid, serta upah lembur jika bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu. Selain itu juga jaminan kesehatan seperti BPJS Ketenagakerjaan yang dapat digugat jika tak diberikan oleh pengusaha.

“Adanya Omnibus Law itu lalu upah minimumnya gimana? Lalu pekerja dibikin outsourcing, ini justru akan mengaburkan hak-hak mereka,” kata Ahmad.

Dalam diskusi ini, Ahmad juga mempersilakan jurnalis yang upahnya tidak sesuai atau tidak dibayarkan untuk berkonsultasi hukum kepada LBH Pers.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Wahyu Dhyatmika menjelaskan bahwa pihaknya kerap mengingatkan kepada media-media baru untuk melaporkan kondisi keuangan mereka kepada karyawan secara transparan. 

Tak hanya itu, Wahyu pun mengingatkan kepada para pemilik media untuk tak melarang karyawannya mendirikan serikat pekerja.

“Proses mendirikan serikat pekerja di media itu tidak mudah. Seringkali teman jurnalis yang mendirikan serikat diberangus, dimutasi ke bagian lain, bahkan di PHK,” ucap Wahyu.

Dia menambahkan survei ini bisa dijadikan oleh manajemen media dan jurnalis untuk meninjau kelayakan upah bagi jurnalis mereka, sehingga jurnalis pun bisa bekerja dengan profesional.

No Comments

    Leave a Reply