Sinergi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang Padu Mendukung Transformasi Ekonomi

August 9, 2019

Jakarta — Untuk menyukseskan transformasi ekonomi di Indonesia, diperlukan sinergi yang padu antara kebijakan di sisi fiskal dan moneter. Keduanya ibarat dua sisi mata uang, saling terkait dan tidak boleh ada saling pertentangan kebijakan dengan dengan sisi lainnya.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, sepuluh tahun ke depan bangsa Indonesia harus memanfaatkan bonus demografi sebaik mungkin. Untuk itulah kebijakan transformasi ekonomi digulirkan, gunanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berdaya saing dan berkelanjutan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menjadi narasumber dalam Sesi Panel 1 – Seminar Nasional Transformasi Ekonomi untuk Indonesia Maju pun berujar, semua sumber daya sektor perekonomian harus dapat dimanfaatkan secara lebih produktif, inovatif dan efisien agar upaya dan sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk mencapai momentum pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Sebagai institusi pengendali kebijakan fiskal, Kementerian Keuangan pun dalam menyusun bauran kebijakan (policy mix) selalu mempertimbangkan stabilitas sekaligus momentum pertumbuhan ekonomi. “Yang tak kalah penting, juga instrumen kebijakan struktural (yang berhubungan juga) dari sisi investasi dan dunia usaha,” ungkapnya dalam seminar yang diadakan di Jakarta (9/8).

Menyoal Incremental Capital Output Ratio (ICOR), Menkeu mengatakan bahwa saat ini memang nilai ICOR Indonesia masih di atas 6, masih lebih tinggi daripada beberapa negara lain. Menurutnya, salah satu faktor fundamental yang mempengaruhi tingginya ICOR adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Walaupun jumlah angkatan kerja di Indonesia besar, tapi sebagian besar masih mempunyai skill yang rendah. Untuk itu instrumen kebijakan fiskal berupa belanja sektor pendidikan dimanfaatkan, dengan tetap menjaga kualitas belanjanya.

Kemudian, dalam hal pembangunan infrastruktur yang lebih merata, Menkeu mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa hanya bergantung kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja. Kini telah dikembangkan skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), disamping juga skema Public Private Partnership (PPP).

“Instrumen fiskal sudah sangat banyak untuk menarik perhatian badan usaha swasta, termasuk Viability Gap Fund, Project Development Facility (PDF), dan availability payment. Ini supaya badan usaha swasta tertarik dan membiayai infrastruktur sesuai appetite risikonya masing-masing, sebab pendanaan infrastruktur butuh jangka panjang dan kepastian dari sisi kontrak,” papar Menkeu.

Ke depannya, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia akan terus mendesain bauran kebijakan makroekonomi Indonesia yang kondusif terhadap pertumbuhan, namun tetap menjaga stabilitas. “Karena kita beroperasi di lingkungan global yang sangat dinamis,” ujar Menkeu.

Jadi, imbuh Menkeu, koordinasi antara K/L sebaikanya tidak hanya di hilirnya saja, tapi juga di hulu. Pembahasan akar masalah sebagai dasar kebijakan bersama itu penting sebagai bentuk sinergi kebijakan. “Kita melakukannya bersama-sama untuk meningkatkan sektor-sektor lain yang nantinya akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Sementara itu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan, ada tiga kata kunci bagi suksesnya transformasi ekonomi, yakni optimisme, bauran kebijakan (policy mix), dan sinergi. BI pun optimistis bahwa ekonomi Indonesia akan terus membaik, meskipun sekarang pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5,2%, tahun depan diproyeksikan sebesar 5,3%, tapi selanjutnya ia yakin tingkat pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6%.

Gubernur BI lantas menjelaskan dalam bauran kebijakan makroprudensial BI, ada 5 kebijakan yang bersifat pro-growth yaitu mengendorkan rasio loan to value (LTV), menaikkan rasio financing-funding untuk mendorong pembiayaan, elektronifikasi dan digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, serta ekonomi keuangan syariah.

“Kami sudah arahkan untuk keseimbangan stabilitas dan pro-growth. Setelah di bulan lalu kami menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), kami juga sudah menurunkan suku bunga 25 bps. Ke depannya, kami masih ada ruang untuk membuat kebijakan moneter akomodatif, baik penambahkan likuiditas maupun penurunan suku bunga. Lalu, yang harus diperhatikan juga bagaimana sinergi antara BI dengan pemerintah, dunia usaha serta perbankan,” tuturnya.

Selanjutnya Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyoroti tentang keterbukaan terhadap investasi. Menurutnya, setiap negara yang maju ekonominya selalu diawali dengan kebijakan yang ramah terhadap masuknya modal asing. Ia menganalogikan keterbukaan investasi dengan kondisi di dunia penerbangan, yang dulunya hanya diisi oleh 3 maskapai, yaitu Garuda, Merpati dan Sempati. Setelah membuka diri, penerbangan kita sempat diisi hingga 70 maskapai. Namun seiring waktu, maskapai Garuda Indonesia membuktikan bahwa kompetisi akan membuat perusahaan menjadi efisien dan dewasa.

Selain itu, dengan membuka diri terhadap investasi asing, akan tercipta lebih banyak wirausaha dan lapangan kerja. “Deregulasi yang kita lakukan selama ini, memang didesain agar lebih dirasakan manfaatnya oleh segmen usaha kecil dan menengah,” ungkapnya.

Dari kalangan dunia usaha, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roslani menyampaikan bahwa transformasi ekonomi akan lebih efisien jika pemerintah dan dunia usaha berkolaborasi lebih erat. “Apabila kebijakan moneter dan fiskal adalah kedua tangan kita, maka kebijakan struktural dan sektor riil adalah kedua kakinya. Jadi, semuanya harus punya playing field yang sama. Misalkan ada kebijakan pengenaan pajak di satu sektor, maka di sektor lainnya yang terkait harus dikenakan pajak yang sama,” pungkasnya. (rep/iqb)

No Comments

    Leave a Reply